POLA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN
KATA PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الرحيم
Sistem
pendidikan Pondok Pesantren diakui sebagai sistem pendidikan tertua dan
memiliki sejarah panjang di negeri ini. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren
itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam di wilayah
Nusantara.
Seiring dengan program pembangunan di Indonesia,
dengan watak kemandiriannya; Pondok Pesantren mengalami perkembangan yang
pesat. Pondok Pesantren tidak hanya menjelma sebagai lembaga pendidikan rakyat,
tetapi juga sebagai agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
Dengan
lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003; tentang Sistem Pendidikan Nasional; Pondok
Pesantren memasuki babak baru dalam dunia pendidikan di negeri ini, Pondok
Pesantren telah masuk dalam bagian yang tidak terpisahkan dalam Sistem
Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan yang sebelumnya identik dengan sistem
tradisional; sekarang telah lahir dan berkembang dengan berbagai coraknya.
Dalam perkembangannya kemudian, tidak sedikit Pondok Pesantren yang lebih
modern dari sistem pendidikan yang lain. Hal ini dilihat dari sistem
pembelajaran, penggunaan media yang canggih, sumber daya manusia yang handal
serta output yang siap terjun kemasyarakat dan/atau melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Jumlah
Pondok Pesantren di Kabupaten Barito Kuala; berdasarkan data November 2010
berjumlah 17 lembaga dengan jumlah santri sebanyak 1.996 orang, mendorong Seksi
Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren pada Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Barito Kuala – Provinsi Kalimantan Selatan untuk menyusun Instrumen
Mutu Pengajaran Pada Pondok Pesantren ini; berupa Pola Pembinaan dan
Pengembangan Pondok Pesantren.
Gambaran
mengenai corak dan tipologi pesantren, serta karakteristik dan kekhasan
masing-masing pesantren; sebagaimana dimuat didalam tulisan ini, hanya berupa
garis besar saja. Informasi singkat mengenai kekayaan khazanah kepesantrenan
yang termuat dalam tulisan ini, diharapkan menjadi bahan bacaan, bahan
perenungan sekaligus sumber inspirasi bagi masyarakat; khususnya praktisi,
pemerhati atau siapapun yang berempati dengan pesantren.
Kami
sangat memaklumi, bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurang-sempurnaan.
Kelemahan dan kekurangan tersebut adalah ketidak-puasan kami; yang menjadi
pemacu kami untuk perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya.
Marabahan, Desember 2010
Kepala Seksi Pendidikan Keagamaan dan
Pondok Pesantren
Selaku Ketua Tim Penyusun,
SURYA ACHDIAT
NIP. 19600305 198503 1 003
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Tujuan.................................................................................. 3
C. Ruang Lingkup................................................................... 4
BAB II SEKILAS
TENTANG PONDOK PESANTREN.................... 6
A. Sejarah Singkat Pondok Pesantren............................... 6
B. Karakteristik Dan Potensi Pesantren.............................. 8
BAB III PENYELENGGARAAN PONDOK
PESANTREN.............. 13
A. Tipologi................................................................................. 13
B. Manhaj dan Metode Pembelajaran................................. 14
C. Masa Pembelajaran dan Ijazah....................................... 19
D. Komponen dan Perjenjangan Materi Pengajian......... 22
BAB IV PENGEMBANGAN
DAN PEMBINAAN PONDOK
PESANTREN............................................................................ 53
A.
Pengembangan.................................................................. 53
B.
Kelemahan
Pondok Pesantren....................................... 59
C.
Sistem
Manajemen Dan Pengelolaan Pondok
Pesantren............................................................................ 62
BAB V PENUTUP.................................................................................. 72
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembangunan bidang pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh
komponen bangsa Indonesia.
Dalam upaya pencerdasan kehidupan bangsa (seperti disebut dalam Pembukaan UUD
1945); masyarakat telah menunjukkan keterlibatan dan peransertanya, tidak saja
dari segi material dan moral, namun telah pula memberikan kontribusi yang
sangat berarti dalam penyelenggaraan pendidikan.
Munculnya berbagai lembaga atau
perguruan swasta merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat.
Lembaga atau perguruan swasta tersebut dapat berbentuk jalur pendidikan sekolah
atau jalur pendidikan luar sekolah; seperti yang diamanahkan oleh Undang Undang
Nomor 2 Tahun 1989; tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaga Pondok Pesantren
sebagai institusi pendidikan, termasuk kedalam jalur pendidikan luar sekolah
yang diselenggarakan dan dikembangkan oleh masyarakat.
Dalam perkembangan masyarakat sekarang
ini, dituntut adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang
antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasaan dan keterampilan, kemampuan
berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat luas, serta peningkatan
kesadaran terhadap alam lingkungannya. Asas pembinaan semacam inilah yang
seharusnya ditawar kan oleh pondok pesantrean
sebagai lembaga pendidikan agama Islam tertua di Indonesia.
Pembinaan yang dilakukan oleh pondok
pesantren selama ini, dianggap telah mampu memberikan pembinaan dan pendidikan
kepada para santri untuk menyadari sepenuhnya atas kedudukannya sebagai khalifatullah
fi al-ardl yang seharusnya menguasai alam sekelilingnya. Hasil pembinaan
pondok pesantren membuktikan bahwa para santri menerima pendidikan untuk
memiliki nilai-nilai kemasyarakatan sekaligus nilai akademis. Keberhasilan
peranan kuat pondok pesantren dalam pembinaan bangsa ini disebabkan adanya
potensi besar yang dimiliki; yaitu potensi pengembangan masyarakat dan potensi
pendidikan.
Pada awalnya, tujuan utama pondok
pesantren adalah (1) tafaqquh fi al-din; yaitu menyiapkan santri untuk
mendalami dan menguasai ilmu agama Islam, yang dihapakan dapat mencetak
kader-kader ulama. Kemudian diikuti dengan tugas-tugas : (2) Dakwah, yaitu
menyebarkan ajaran agama Islam dan (3) menjadi benteng pertahanan umat di
bidang akhlaq. Karenanya materi pengajaran di pondok pesantren cenderung materi
agama yang digali langsung dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Dari
tuntutan perkembangan zaman dan perannya yang signifikan, maka tujuan Pondok
pesantren bertambah dengan (4) meningkatkan pengembangan masyarakat diberbagai
sector kehidupan.
Pada perkembangan selanjutnya, karena
pengaruh perkembangan dunia pendidikan dan tuntutan dinamika masyarakat;
beberapa pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah (formal)
dan kegiatan lain yang bertujuan untuk pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat
sekitar dengan pondok pesantren sebagai
sentranya. Keberadaan pondok pesantren yang semakin beragam dalam bentuk,
peranan dan fungsi tersebut mengakibat kan
adanya fenomena yang lain dalam upaya menyusun suatu pola yang mudah dipahami
sebagai acuan untuk pengembangan pondok pesantren masa depan.
Dalam perkembangan terakhir, di dalam
lingkungan pondok pesantren , di samping madrasah, diselenggarakan pula
pendidikan kesetaraan, kegiatan sekolah-sekolah umum bahkan perguruan tinggi.
Selain itu, dikembangkan pula program-program pengembangan masyarakat; sebagai
upaya pemberdayaan potensi pondok pesantren, sehingga dalam wacana terakhir,
pondok pesantren memungkinkan untuk dapat dikategorikan sebagai lembaga
pengembangan masyarakat.
Akan
tetapi, pada prinsipnya apapun yang terjadi dalam sistem pendidikan serta
pengelolaan dalam pondok pesantren, pondok pesantren tetap merupakan lembaga
pendidikan dan keagamaan dalam upaya tafaqquh fi al-din. Hal ini
disebabkan karena pondok pesantren tetap memegang kaidah al-muhafazhah ‘ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah; kaidah yang
melandasi transformasi yang dilakukan oleh pondok pesantren.
B. Tujuan
Seperti diketahui bahwa pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah
menunjukkan kemampuannya dalam menyiapkan dan mencetak kader ulama, serta ikuti
ambil bagian dan berjasa dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Pondok pesantren
juga telah menjadi pusat kegiatan pendidikan yang berhasil menanamkan semangat
kewiraswastaan dan semangat kemandirian.
Untuk itu, Departemen Agama melalui
Kantor Kabupaten Barito Kuala – Povinsi Kalimantan Selatan; merasa perlua
memberikan arahan bagi upaya pengembangan pembelajaran pada pondok pesantren,
melalui suatu Instrumen Mutu Pengajaran yang ditujukan kepada pengelola,
pengasuh dan para pengajar pondok pesantren, dengan harapan agar pengembangan
selanjutnya dapat memenuhi tuntutan pendidikan. Penyusunan Instrumen ini tidak
dimaksudkan sebagai upaya penyeragaman pengelolaan atau penyelenggaraan oleh
masing- masing pondok pesantren, melainkan sebagai upaya untuk memberi
inspirasi, alternatif dan dan informasi bagi peningkatan mutu pengajaran pondon
pesantren selanjutnya.
Paradigma yang sekarang diharapkan
adalah upaya untuk membina keberagaman dan meminimalkan budaya penyeragaman.
Namun demikian, dalam hal pola pengembangan diniscayakan adanya suatu
keseragaman atas dasar kesamaan visi dan misi pondok pesantren, sekalipun tetap
masih terdapat perbedaan dalam penerapan dan pelaksanaan serta ciri khas yang
ditampilkan oleh masing-masing pondok pesantren. Hal-hal pokok tetap tercermin
pada tujuan setiap pondok pesantren yang secara makro dapat disebut ada
kesamaan.
Adapun
tujuan penyusunan Instrumen Mutu Pengajaran pada pondok pesantren adalah
sebagai berikut :
- Mewujudkan pola pengajaran pondok pesantren yang aplikatif, inovatif, fleksibel dan berkualitas, sesuai karakteristik pondok pesantren dan tuntutan zaman.
- Memberikan arah, rujukan/acuan dan framework yang jelas bagi pondok pesantren dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya dan profesionalitas manajemen.
- Memantapkan posisi strategis pondok pesantren dalam berbagai bidang kehidupan.
- Memberikan alternatif yang lain dalam penyelenggaraan pondok pesantren secara optimal dan integral.
C.
Ruang
Lingkup
Instrumen ini memuat beberapa hal yang
berkenaan dengan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga keagamaan
dan pengembangan masyarakat. Akan tetapi pembahasan dimaksud terbatas bahasan
mendasar dan umum; tidak mendetail pada permasalahan yang bersifat teknis dan
pola-pola ter tentu yang berlaku dalam pendidikan formal.
Sistematika instrument ini, meliputi :
- Pendahuluan
Dalam pendahuluan ini, berisi tentang latar belakang
penyusunan instrumen, tujuan dan ruang lingkup.
- Sekilas tentang Pondok Pesantren
Bagian ini memuat sejarah singkat, karakteristik dan
potensi pondok pesantren.
- Penyelenggaraan Pondok Pesantren
Dalam uraian ini berisi tentang tipe, manhaj dan metode
pembelajaran, masa belajar dan ijazah dan standarisasi pondok pesantren
- Pengembangan dan Pembinaan Pondok Pesantren
Berisi tentang peranan pondok pesantren dalam sistem
pendidikan nasional, peranan pondok pesantren dalam pengembangan masyarakat dan
pengem bangan keterampilan.
- Manajemen Pondok Pesantren
Memuat sistem manajeman dan pengelolaan pesantren
- Penutup
BAB
II
SEKILAS TENTANG
PONDOK PESANTREN
A.
Sejarah
Singkat Pondok Pesantren
Diantara berbagai lembaga pendidikan
yang pernah ada di Indonesia,
pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren merupakan sistem pendidikan tertua
saat ini dan dianggap sebagai produk budaya bangsa yang asli dan lebih pribumi.
Semula, pendidikan ini merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak
munculnya masyarakat Islam di Indonesia pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian
penyelenggaraan ini semakin teratur, dengan munculnya tempat-tempat pengajian.
Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi
para pelajar (santri); sehingga kemudian lembaga tersebut lebih dikenal dengan
sebutan pesantren. Meskipun sistem dan bentuknya masih sangat sederhana, namun
pada saat itu pendidikan ini dianggap memiliki gengsi dan kewibawaan. Di
lembaga inilah kaum muslimin Indonesia
mendalami doktrin dasar Ke-Islaman; khususnya menyangkut praktek kehidupan
keagamaan.
Lembaga
pesantren mengalami perkembangan yang cepat, disebabkan adanya sikap
non-kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerin tah kolonial
Belanda (pada akhir abad ke-19); yaitu kebijakan yang dimaksudkan sebagai balas
jasa kepada rakyat Indonesia, dengan memberikan pendidikan modern termasuk
budaya Barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi
kuantitas peserta didik maupun dari segi kualitas dan tingkat pendidikan yang
diberikan. Sikap ketidak-setujuan dan pembelotan para ulama itu kemudian
ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota, untuk menghindari
intervensi pemerintah colonial serta memberi kesempatan lebih banyak kepada
rakyat yang belum memperoleh pendidikan.
Perkembangan
pesantren yang begitu pesat juga diduga karena telah dibukanya Terusan Suez
(pada tahun 1869), yang memungkinkan lebih banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di
Mekkah. Sehingga sepulang mereka ke kampong halaman, para pelajar yang akhirnya
bergelar “haji” ini mengembangkan pendidikan agama di tanah air yang bentuk
lembaganya kemudian disebut pesantren atau pondok pesantren.
Pada
permulaan berdirinya, bentuk pesantren sangatlah sederhana. Ke giatan pengajian
diselenggarakan di dalam masjid oleh seorang kyai sebagai guru dengan beberapa
santri sebagai muridnya. Kyai tadi biasanya sudah pernah mukim bertahun-tahun
untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam di Mekkah atau Madinah.
Atau setidaknya pernah berguru kepada seorang wali, kyai maupun ulama terkenal
alim di daerah lain. Kemudian ia bermukim disuatu desa dengan mendirikan
langgar/surau yang dipergunakan sebagai tempat untuk shalat berjamaah.
Awalnya,
jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Pada setiap menjelang atau
selesai shalat berjamaah, sang kyai biasanya memberikan caramah pengajian
sekedarnya. Isi dan materi pengajian biasanya berkisar pada soal Rukun Iman,
Rukun Islam serta pendidikan akhlaq yang lebih banyak menyangkut kehidupan
sehari-hari. Karena cara pembelajaran dianggap menarik dan keikhlasan yang
tinggi serta perilaku yang menunjukkan keshalehan;maka lama kelamaan jamaahnya
bertambah banyak. Yang datang tidak saja dari warga desa itu, tetapi juga
menarik perhatian warga desa lain di luar desa tersebut. Seba gian dari mereka
yang ikut pengajian itu ada yang ingin tinggal menetap; dekat denga Kyai atau
Ustaz, bahkan mulai ada beberapa orangtua yang menitip anak nya kepada kyai
tersebut. Untuk menampung mereka semua, dibangunlah pondok atau asrama.
Akhirnya terbentuklah sebuah pesantrian yang di dalamnya terdapat pondok,
masjid, kyai dan santri. Istilah Pesantrian ini akhirnya dikenal dengan sebutan
Pesantren.
Beberapa
alumni yang telah dianggap selesai dan pulang dari pesantren kemuadian mendirikan
pesantren yang baru di kampong halamannya, sehingga bertambah banyaklah jumlah
lembaga pesantren yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa sampai sekarang.
Sekalipun demikian, beberapa pesantren yang didirikan/dibangun disetiap kurun
waktu, ada yang masih memegang format tradisional, dan ada pula yang
menyesuaikan dengan perkembangan pendidikan.
B.
Karakteristik
dan Potensi Pesantren
- Karakteristik Pesantren
Dalam sejarah perkembangannya, fungsi
pokok pesantren adalah men cetak ulama dan ahli agama. Sampai sekarang
paradigma tersebut masih dipeliha ra, dipertahankan dan dipegang teguh oleh
para pendiri dan pengasuh pondok pe
santren. Namun, seiring perkembangan zaman, selain kegiatan pendidikan dan
pengajaran agama; beberapa pesantren telah melakukan pembaharuan dengan
pengembangan komponen-komponen pendidikan lainnya; seperti penambahan
pendidikan sistem persekolahan, adanya
pendidikan kesenian, pendidikan bahasa asing, pendidikan jasmani serta
pendidikan keterampilan. Akan tetapi, bahwa pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam memiliki ciri-ciri khusus; yaitu
·
Kyai; sebagai pemimpin pondok pesantren,
·
Santri; yang tinggal di asrama dan belajar
pada kyai,
·
Asrama; sebagai tempat tinggal santri,
·
Pengajian; sebagai bentuk pengajaran kyai terhadap
para santri, dan
·
Masjid; sebagai pusat pendidikan dan pusat
kompleksitas kegiatan pondok pesantren.
Walaupun demikian, secara historis
pesantren memilik karakter utama, yaitu :
Ø
Pesantren
didirikan sebagai bagian dan atas dukungan masyarakatnya sendiri.
Ø
Dalam
penyelenggaraan pendidikan, Pesantren
menerapkan kesetaraan santrinya, tidak membedakan status dan tingkat kekayaan
orangtuanya.
Ø
Pesantren
mengemban missi “menghilangkan kebodohan”,
tafaqquh fi al-din dan men-syiar-kan Islam.
Secara sederhana,
karakteristik pesantren di Indonesia
dapat disimpul kan
menjadi dua :
a. Belum memiliki rencana induk
pengembangan secara tertulis.
Kalaupun ada, umumnya rencana induk
tersbut masih tersimpan dalam pikiran pendiri atau pengasuhnya; hal ini
disebabkan antara lain :
1) Pembuatan pola atau rencana kegiatan
pendidikan jangka panjang be lum menjadi tradisi dalam pengelolaan lembaga
pendidikan pesantren;
2)
Kekurangan tenaga perencana;
3)
Keterbatasan
kemampuan pengelolaan (manajemen) organisasi formal;
4)
Cenderung
bersifat reaktif daripada proaktif;
5) Keterbatasan sumber pendanaan
b. Kaderisasi bersifat alamiah
Kaderisasi pengelola dan pelaksana
pada pondok pesantren cenderung bersifat alamiah.
Pada tipe Salaf,
pengelolaan pesantren sepenuhnya berada di tangan pendiri atau pengasuh
pesantren; yang dibantu oleh keluarga atau ustadz senior.
Pada tipe
Campuran, pengelolaan administrasi sudah mengenal pemisah an antara
pengasuh pesantren sebagai individu dengan yayasan sebagai organisasi.
Pembagian wewenang dan tanggungjawab mulai melebar: pengelola pesantren atau madrasah sudah
memiliki wewenang atau otoritas; meskipun masih terbatas. Akan tetapi dalam hal
rekruitmen (pengadaan) tenaga pengelola masih banyak melibatkan anggota keluarga
atau santri senior yang dipercaya dan telah lama mengabdi kepada Kyai pengasuh
pesantren.
Pada tipe Salaf, proses
pendidikan yang diselenggarakan lebih menekankan hubungan akrab ustadz
dan santri senior; yang cenderung bersifat ketergan tungan (patron-client),
karena ustadz dan santri diam di lingkungan asrama yang sama. Pendidikan
umumnya bersifat terbuka dan berlangsung 24 jam sehingga mentoring antara
santri senior dengan yunior relative sangat efektif.
Pada tipe
Campuran, tidak semua santri diasramakan; karena proses pendidik an
terkadang terbatas hanya pada jam belajar.
- Potensi Pesantren
Pondok Pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang memiliki peluang dan kekuatan dalam upaya pemberdayaan
masyarakat di sekitarnya; termasuk upaya transformasi sosial yang akan
dilakukan oleh pondok pesantren. Karenanya, dalam upaya tersebut dapat
dilakukan dengan pendayagunaan modal dan potensi kultural yang dimiliki oleh
pondok pesantren, dengan tidak mengesampingkan kaidah : al-muhafazhah ‘ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Beberapa potensi
yang menonjol antara lain :
a.
Pesantren
lahir, tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat, sehing ga mengakar kuat
di tengah masyarakat. Keadaan ini menyebabkan pesantren lebih massif, pupulis
dan mencerminkan suatu gerakan akar rumput. Karena itu kebanyakan pesantren
berada di daerah pedesaan atau daerah pinggiran.
b.
Rasa
memiliki dan rasa tanggungjawab masyarakat terhadap pesantren sa ngat tinggi.
Hal ini dapat menjadi garansi bagi sustainability (kelangsungan) pesantren
sebagai lembaga pendidikan.
c.
Pesantren
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, adaptif terhadap setiap perubahan dan
perkembangan. Hal ini sangat berhubungan erat dengan karakter, watak, cultural
dan pengalaman histories pesantren sudah terjaga sejak waktu yang lama.
d.
Sistem
kekerabatan (jaringan keluarga) dengan alumni pesantren telah ter bangun secara
cultural dan terbina sejak lama dengan format yang khas. Jaringan ini menambah
modal kultural pesantren sebagai pemilik basis konstituen yang relatif solid di
masyarakat dan sumberdaya lokal yang kuat.
e.
Pesantren
dipandang sebagai penjaga/benteng moral-etik (moral guardian) bagi masyarakat.
f.
Pesantren
diakui mampu menjadi mediator antara masyarakat dengan Negara.
g.
Pesantren
dapat menjaga dan melestarikan nilai-nilai keutamaan yang di miliki komunitas
pesantren seperti keikhlasan, ketulusan, kebersamaan, persamaan hak,
kesederhanaan, pengabdian, tanggung jawab serta kerelaan berkorban.
h.
Dukungan
dana yang memadai dari masyarakat sebagai sumber penge lolaan pendidikan
pesantren.
BAB III
PENYELENGGARAAN PONDOK PESANTREN
A.
Tipologi
Selama
ini orang sering membuat kategorisasi pesantren di Indonesia secara sederhana menjadi
dua bentuk; yaitu pesantren salaf dan pesantren khalaf atau pe santren modern.
Pesantren Salaf sering diidentikkan dengan pesantren tradisional, sehingga
pesantren yang tidak tergolong salaf dikategorikan sebagai pesantren modern.
Tipologi
pesantren yang ada selama ini menampakkan berbagai variasi dari salaf dan
non-salaf. Dilihat dari aspek materi dan metode pendidikan yang diterap kan, pesantren di Indonesia setidak-tidaknya bisa
dikelompokkan menjadi tiga bentuk :
Pertama, bentuk salaf murni; dengan karakter
dan cirri-ciri tertentu, yaitu pesan tren yang dalam kegiatan pendidikannya
semata-mata berdasarkan pola-pola pengajaran klasik; yakni hanya mengajarkan
atau menyelenggarakan penga jian kitab
kuning yang dikategorikan mu’tabarah dengan metode pembelajaran
tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern.
Kedua, bentuk salaf yang dikombinasikan
dengan sistem lain (tidak murni); ya itu pesantren yang selain menyelenggarakan
pengajian kitab kuning juga mem buka pendidikan dengan sistem madrasi
(klasikal).
Ketiga, bentuk pesantren non-salaf; yaitu
pesantren yang seluruh program pendi dikannya diselenggarakan dengan sistem
klasikal dan tidak membuka pengajian ki tab kuning sebagai materi pelajaran
utama.
Dalam
perkembangan selanjutnya, menyadari bahwa pondok pesantren telah mengalami
perkembangan bentuk dari keadaan semula, maka Menteri Agama menetapkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3
Tahun 1979, tentang bentuk pondok pesantren; yang dibagi menjadi empat tipe :
Pondok Pesantren Tipe A; yaitu pondok pesantren tempat para
santri belajar dan bertempat tinggal di asrama di lingkungan pesantren, dengan
pengajaran yang bersifat tradisional.
Pondok Pesantren Tipe B; yaitu
pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran kalsikal (madrasiy).
Pengajaran oleh kyai bersifat aplikatif dan dibe rikan pada waktu tertentu. Para santri tinggal di asrama lingkungan pesantren.
Pondok Pesantren Tipe C; yaitu pondok pesantren yang hanya
merupakan asrama, sedang para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah
umum), sedangkan kyai hanya merupakan pengawas dan Pembina mental para santri.
Pondok Pesantren Tipe D; yaitu pondok pesantren yang
menyelenggarakan system pembelajaran
bergaya pesantren salaf dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.
Beberapa
bentuk pesantren seperti yang disebut dalam Peraturan Menteri Agama tersebut,
hanyalah merupakan upaya Pemerintah memberi batasan atau pemahaman yang lebih
terarah dan khas tentang keberadaan suatu pesantren. Walaupun demikian,
sesungguhnya perkembangan pondok pesantren tidak terbatas pada empat bentuk
tersebut saja, namun dapat lebih beragam
banyaknya. Bahkan untuk tipe yang samapun bisa saja terdapat perbedaan tertentu
yang menyebabkan satu sama lain tidak sama dan memiliki kekhasan tersendiri.
B. Manhaj dan
Metode Pembelajaran
Jika yang dimaksud dengan kurikulum sebagaimana halnya lembaga
pen didikan formal, dapat dikatakan bahwa pondok pesantren tidak memiliki
kurikulum. Namun sesungguhnya, jika yang dimaksud sebagai manhaj (arah
pembelajaran tertentu), maka pondok pesantren tentu memiliki “kurikulum”
melalui funun kitab-kitab yang diajarkan pada para santri.
Dalam pembelajaran yang diberikan oleh
pondok pesantren kepada santrinya, sesungguhnya pondok pesantren mempergunakan
suatu bentuk “kurikulum” tertentu yang telah lama dipergunakan. Yaitu dengan sistem
pengajaran tuntas kitab yang dipelajari (kitabi) yang berlandaskan pada
kitab pegangan yang dijadikan rujukan utama pondok pesantren tersebut untuk masing-masing bidang studi
yang berbeda. Sehingga akhir sistem pembelajaran yang di berikan oleh pondok pesantren
berstandar kepada tamatnya buku atau kitab yang dipelajari, bukan pada
pemahaman secara tuntas untuk suatu topik (maudlu`i).
Penamaan
batasan perjenjangan pun bermacam-macam. Ada
yang memper gunakan istilah marhalah, sanah, dan lainnya. Bahkan adapula
yang bertingkat seperti Madrasah Formal, Ibtidai`I,tsanawy dan `aly.
Metode pembelajaran dapat
diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyampaikan ajaran sampai
ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren, ajaran adalah apa
yang terdapat dalam kitab kuning, atau kitab rujukan atau referensi yang
dipegang oleh pondok pesantren tersebut. Pemahaman terhadap teks-teks ajaran
tersebut dapat dicapai melalui metode pembelajaran tertentu yang biasa
digunakan oleh pondok pesantren Selama kurun waktu panjang pondok pesantren
telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode : weton atau bandongan, sorogan
dan hapalan (tahfidz).
Di beberapa pondok pesantren dikenal metode “munazharah”.
Metode –metode ini dapat diterapkan dalam klasikal maupun non klasikal.
1. Metode
Wetonan atau Bandongan
Metode wetonan atau bandongan adalah cara
penyampaian ajaran/kitab kuning di mana seorang guru, kyai atau ustadz
membacakan dan menjelaskan isi ajaran/kitab kuning tersebut, sementara
santri,murid atau siswa mendengarkan, memaknai dan menerima. Dalam metode ini,
guru berperan aktif, sementara murid bersikap pasif.
2. Metode
Sorogan
Dalam
metode sorogan, sebaliknya, santri yang menyodorkan kitab (sorog) yang akan dibahas, dan sang guru mendengarkan, setelah itu beliau
membe rikan komentar dan bimbingan yang dianggap perlu bagi santri.
Tetapi
pada kedua metode ini, belum atau tidak terjadi dialog antar murid dan guru.
Kedua metode ini pun sama-sama memiliki cirri pada penekanan yang sangat kuat
pada pemahaman tekstual atau literal.
Metode weton dan sorogan
dapat bermanfaat ketika jumlah peserta didik cukup besar dan waktu yang
tersedia relative sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup
banyak. Memang tidak dapat dipungkiri, metode ini mengandung beberapa kelemahan.
Tidak terjadinya dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif. Kegiatan
pembelajaran terpaut pada guru. Akhirnya, daya kreatifitas dan aktivitas murid
menjadi lemah. Untuk hal yang seperti ini, maka sebaiknya guru menyediakan
waktu yang cukup untuk terjadinya dialog, setidaknya adanya waktu dan
kesempatan murid bertanya kepada guru.
3. Metode
Hapalan (Tahfidz).
Metode
ini telah menjadi ciri yang melekat pada sistem pendidikan tradisional,
termasuk pondok pesantren. Hal ini amat
penting pada sistem keilmuan yang lebih mengutamakan argumen naqli,
transmisi dan pe riwayatan (normative). Akan tetapi ketika konsep keilmuan
lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan
modern, metode hapalan kurang dianggap penting. Sebaliknya, yang penting adalah
krea tivitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.
Memang kebaradaan metode hapalan ini
masih perlu dipertahankan, sepan jang berkaitan dengan penggunaan argumen naqli
dan kaidah-kaidah umum. Metode inipun masih relevan untuk diberikan kepada
murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar dan menengah. Pada usia tingkat atas,
sebaiknya diku rangi dengan mempergunakan metode ini pada rumus-rumus dan
kaidah-kaidah. Penekanan utama diberikan pada metode pemahaman dan diskusi.
4. Metode Diskusi (mudzakarah).
Metode
ini berarti penyajian bahan pelajaran dilakukan dengan cara murid atau santri
membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau
masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam kegiatan ini, kyai atau
guru bertindak sebagai ”moderator”. Dengan metode ini diharapkan dapat memacu
para santri untk dapat lebih aktif dalam bela jar.melalui metode ini akan tumbuh
dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis dan logis. Adapun kegiatan mudzakarah,
dapat diartikan sebagai pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah.
Kegiatan ini di bedakan menjadi dua macam berdasarkan peserta yang disertakan,
mudza karah yang diadakan sesama kyai dan para ulama, dan mudzakarah yang
diselenggarakan sesama santri atau siswa, yang keduanya membahas masalah
keagamaan.
Bila
untuk kyai dan para ulama kegiatan ini lebih bertujuan untuk mencari ja waban
dan jalan keluar untuk suatu masalah, maka kegiatan yang dilakukan para santri
lebi berupa melatih diri dalam memecahkan suatu persoalan, yang hasilnya kemudian
diberikan kepada kyai. Dalam diskusi santri ini, kyai ka dang-kadang bertindak
sebagai pimpinan diskusi atau biasanya oleh santri senior, atau bahkan para
santri dibiarkan saja secara mandiri menyeleng garakannya.
Di
beberapa pondok pesantren, mengaji kitab dengan metode di atas berjalan cukup
baik dan bahkan mampu mengacu para santri untuk melakukan telaah atas
kitab-kitab yang besar-besar. Beberapa santri senior membaca bebe rapa kitab
dalam suatu majelis dan mendiskusikannya di hadapan kyai yang lebih bertindak
sebagai fasilitator atau instruktur. Cara demikian ini memberi dampak cukup
baik bagi santri dalam pengajiannya.di masa lalu, mengaji dengan metode seperti
ini, bahkan, menjadi tradisi para ulama. Perdebatan seringkali berjalan seru,
tetapi tetap disertai dengan sikap saling menghor mati dan menghargai.
Di dunia modern sekarang ini, di mana
semuanya berjalan dengan sangat cepat, metode belajar seperti di atas agaknya
telah menjadi tuntutan yang mendesak. Apalagi, kenyataan menunjukkan bahwa masa
belajar para santri dewasa ini semakin singkat. Tuntutan kehidupan terus
mengejar mereka untuk segera pulang dengan membawa kesuksesan.
5. Metode
Majelis Taklim ( musyawarah / munazharah
)
Metode
yang dipergunakan adalah pembelajaran dengan cara ceramah, biasanya disampaikan
dalam kegatan tabligh, atau kuliah umum.
Proses
pembelajaran kitab dapat pula dilakukan melalui metode penulisan karya ilmiah,
sekurang-kurangnya dengan menulis resume atau ikhtisar atas topik yang ada dalam kitab kuning. Cara ini dapat
dilakukan dengan bahasa Arab, atau bahasa Indonesia. Metode ini diharapkan
dapat menghasilkan banyak manfaat: pertama, sebagai evaluasi agar guru dapat
mengetahui sejauh mana santri mampu memahami materi-materi yang disajikan; kedua, sebagai motivator bagi santri
untuk membaca dan menelaah kitab yang diajarkan maupun kitab lain dalam tema
atau topik sejenis. Yang disebut terakhir ini di masa mendatang bisa melahirkan
para “santri penulis”. Selama kurun waktu yang cukup panjang, tradisi menulis
karya ilmiah sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu semakain berkurang.
Memang, sebagai lembaga pendidikan,
pondok pesantren dituntut untuk dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh
dunia pendidikan. Sehingga diperlukan adanya inovasi-inovasi baru yang perlu
dikembangkan sebagai langkah untuk menjawab tantangan tersebut. Salah satunya
adalah yang berkaitan dengan metode pembelajaran, seperti yang telah disebutkan
di atas. Mungkin suatu saat nanti akan bermunculan metode pembelajaran baru
yang diharapkan lebih efektif dan efisien.
C. Masa
Pembelajaran dan Ijazah
Dikarenakan
terdapat bermacam-macam model dan bentuk
pondok pesantren yang secara langsung berhubungan dengan model dan bentuk
pembelajaran nya, maka masa atau lama waktu belajar yang dimanfaatkan oleh para
santri selama di pondok pesantren menjadi berbeda-beda pula.
Masa
pembelajaran pada pondok pesantren yang menyelenggarakan pendi dikan formal
lebih tampak dalam batasan waktu. Batasan tersebut dapat berupa semester, catur
wulan atau triwulan, atau bahkan satu tahun. Dengan nama ma sing-masing
pembelajaran dapat berbeda-beda, misalnya marhalah,
fashal, thabaqah, dan sanah. Namun rata-rata pembelajarannya sampai seorang
santri dinyatakan lulus dan benar-benar menguasai ilmu yang diajarkan, tidak
selalu sama dan tidak merata. Apalagi jika diadakan pengujian khusus.
Rata-rata
pembelajaran pondok pesantren tergantung pada pimpinan yang bersangkuitan,
dewan Pembina atau dewan pengajarnya.
Bisa mencapai tiga atau enam tahun, atau tergantung kelulusannya pada
lembaga pendidikan formal yang juga diselenggarakan oleh pondok pesantren.
Sebagian
pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan se kolah biasanya
pengajian kitab di pondok pesantrennya pun dilakukan berjenjang pula, baik itu
berdasarkan klasikal di kelas pada pendidikan formal atau berda sarkan pada
tingkatan kemampuan dalam mengikuti pengajian kitab. Karena adakalanya siswa
yang berada di kelas tinggi, namun dalam pembelajaran kitab di pondok pesantren
dikategorikan masih pada tahap dasar. Sedangkan pada pon dok pesantren salafiyah, biasanya pengajian
diselenggarakan dengan cara berja maah dengan metode bandongan, wetonan atau sorogan.
Dapat saja metodenya berkembang dengan munadzharah
dan taklim. Pengajian ini tidak
dibatasi dengan batas waktu tertentu dan
tanpa perjenjangan khusus. Selesainya masa pelajaran adalah jika ia sudah
merasa cukup atau kyai menganggap dirinya cukup memiliki pengetahuan atau ajaran
agama Islam.
Pada
pondok pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal (salafiyah) juga tidak tertutup
kemungkinan diselenggarakan dengan cara klasikal dan berjenjang. Bahkan juga
berdasarkan pada batasan waktu sebagaimana hal nya yang diselenggarakan oleh
pondok pesantren khalafiyah. Ini dimungkinkan karena perkembangan dan inovasi
pondok pesantren dalam upaya mengefektifkan pembelajaran dan efisiensi waktu
pengajian.
Namun,
ada pula pondok pesantren, baik itu salafiyah
maupun `ashriyah, yang
menyelenggarakan pengajiannya secar klasikal namun tdak dibatasi dengan masa
pembelajaran tertentu. Batasannya atau perjenjangannya terdapat pada tingkatan
kesulitan dari kitab-kitab yang dipelajarkan sampai tamat. Dengan tamat nya
suatu kitab, maka selesailah suatu kelas atau jenjang tertentu. Meskipun kadang
berulang-ulang dari segi tema, namun tingkat kesulitan dijadikan wahana
perjenjangan.
Waktu
pembelajaran pondok pesantren biasanya adalah setelah shalat subuh berjamaah di
masjid, setelah shalat `ashar, dan setelah shalat `sya. Pengajian ini dilakukan
secara berjenjang atau secara keseluruhan, tergantung metode atau sistem
penyelenggaraan yang dilakukan. Sedangkan waktu pagi sampai siang, biasanya
disi dengan kegiatan mandiri atau keterampilan khusus yang diselengga rakan
oleh pondok pesantren. Jika ada pendidikan formal, maka waktu pagi sam pai
siang dimanfaatkan untuk sekolah. Atau jika pondok pesantren tidak melaksa
nakan pendidikan formal atau pendidikan keterampilan; biasanya para santri ikut
pendidikan formal di luar pondok, atau bekerja, maupun membantu kegiatan yang
ada di lingkungan pondok pesantren.
Pada
saat santri selesai atau dianggap cukup dalam menerima pendidikan; baik berupa
pengajian maupun pendidikan keterampilan, biasanya santri akan menerima ijazah,
sebagaimana lazim terjadi pada sekolah umum, madrasah atau lembaga pendidikan
lainnya.
Ijazah, seperti dipahami selama ini, adalah
sebutan untuk lembaran yang menun jukkan atau tanda bukti telah selesainya
pendidikan seseorang di suatu perguruan untuk masa pembelajaran tertentu.
Tetapi ada kalangan pondok pesantren; yang penyebutan tanda bukti kelulusan
tersebut dengan memakai istilah syahadah.
Namun
demikian, tidak semua pondok pesantren; terutama yang salafiyah murni,
memberikan ijazah kepada para santri yang lulus. Ada
pondok pesantren yang bah kan
samasekali tidak memberikan ijazah sebagai tanda bukti telah selesainya sese
orang santri dari lembaga pendidikan pondok pesantren. Hal ini dapat dimaklumi,
karena yang menjadi prioritas bukan pada tanda bukti atau ijazah tersebut,
melainkan pada aplikasi yang dilakukan para santri setelah ia lulus.
D. Komponen dan Perjenjangan
Materi Pengajian
Pola
pendidikan yang diselenggarakan di pesantren cukup beragam. Namun demikian,
fungsi yang diembannya sama, yakni mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu agama
Islam, sebagai upaya mewujudkan manusia yang tafaqquh fi al-din. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari
jenis-jenis mata ajaran yang diberikan di pesantren.
Hampir seluruh pesantren di tanah air mengajarkan mata ajaran yang sama, yang dikenal dengan ilmu-ilmu ke-Islaman,
yang meliputi al-Qur`an (tajwid, tafsir dan ilmu tafsir), al-Hadits.
Aqidah/Tauhid, Akhlak/Tasawuf Fiqih dan Ushul Fiqih, Bahasa Arab (Nahwu,
Sharaf, Mantiq dan Balaghah) serta Tarikh (Sejarah Islam).
Mata pelajaran ini diajarkan di pesantren melalui
kitab-kitab standar yang disebut al-kutub
al-qadimah, karena kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun
yang lalu. Ada
juga yang menyebutkannya sebagai al-kutub
al-shafra` atau “kitab kuning” karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di
atas kertas berwarna ku ning, sesuai kertas yang tersedia waktu itu. Ciri lain
dari kitab-kitab yang diajarkan dipesantren itu ialah beraksara Arab Gundul (huruf arab tanpa harakat atau sya
kal). Keadaannya yang gundul itu pada sisi lain ternyata merupakan bagian
dari pembelajaran, sehingga keberhasilan menemukan harakat-harakat yang benar merupakan salah satu tolak ukur
keberhasilan pembelajaran di pesantren.
Diyakini bahwa
al-kutub al-qadimah itu jumlahnya
sangat banyak. Akan tetapi, yang banyak dimiliki para kyai dan diajarkan di
pesantren di Indonesia adalah kitab-kitab yang umumnya karya ulama-ulama
madzhab Syafi`i, menurut Martin van Bruinessen, seseorang peneliti dari
Belanda, pada akhir abad ke-20 ini judul kitab-kitab kuning yang beredar
dikalangan kyai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900
judul. Padahal L.W.C. Van den Berg dalam penelitian sebelumnya, pada akhir abad
19, hanya menemukan 54 judul saja.
Meningkatnya jumlah judul kitab itu sebetulnya disebabkan
oleh beberapa hal :. Pertama, banyak kyai yang mulai menulis kitab
sendiri, baik dengan menggu nakan Bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa
lokal yang ditulis dengan huruf Arab Melayu.
Kedua,
beberapa kyai
melakukan penyederhanaan (mukhtashar)
atas kitab-kitab yang ada dalam rangka penyesuaian materi, bahasa, maupun
pembahasannya.
Ketiga,
mulai diadopsinya
kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena ridak sealiran dengan faham
pesantren, misalnya kitab-kitab di luar madzhab Syafi`i.
Keempat, pesantren juga mulai mengaji kitab-ktab al-`ashriyyah, karya ulama modern. Kitab-kitab al-`ashriyyah, ini mulai masuk ke Indonesia, sejalan dengan
perkembangan teknologi pada awal abad 20, yang ditandai oleh kemudahan
orang-orang Indonesia untuk melakukan ibadah haji dan belajar, baik di Makkah,
Madinah, Kairo, Baghdad, Yaman dan pusat-pusat belajar lain di Timur Tengah.
Tidak
seluruh kitab keislaman berbahasa Arab yang beredar di kalangan pesantren
diajarkan kepada santri. Bahkan kebanyakannya merupakan bacaan para ustadz dan
kyai, sebagai pengkayaan bahan pengajaran.
Adakalanya, sebagian kitab itu juga didiskusikan secara terbatas diantara
mereka. Kitab-kitab yang diajarkan kepada santri itu bertingkat. Ada kitab yang disediakan
untuk tingkat pemula (awwaliyah), ada
yang untuk tingkat menengah (wustha), dan
ada untuk tingkat tinggi (`aly).
Walaupun tidak selalu, tingkatan-tingkatan ini juga kadangkala ditentukan oleh
pola penyajian kitab itu sendiri, yaitu pola matan, syarah, dan khasyiyah. Matan adalah kitab yang
menyajikan materi pokok awal baik dengan cara essai (natsr) maupun syair (syi`r). Sedangkan syarah merupakan kitab
“komentar” dari kitab matan, dan khasyiyah merupakan komentar dari
komentar. Pola lain dalam penyajian kitab yang tampaknya memperkuat
kecendrungan pembagian tingkatan itu ialah adanya kitab-kitab jenis mukhtashar yang merupakan ringkasan dari
kitab yang ada, mubassathah atau mutawassithah
yang tampaknya berisi tambahan
penjelasan, dan muthawwalah yang memberikan tambahan penjelasan yang lebih
banyak, namun bukan syarah atau bukan pula khasiyah.
Pembagian tingkat kitab pembelajaran itu sendiri dari sisi lain memang
merupakan suatu kebutuhan dan usaha paedagogis untuk memenuhi keragaman tingkat
kemampuan pembelajaran dalam hal ini santri.
Suatu
keadaan yang kondusif; bahwa kitab yang beredar amat banyak. Hal itu memberikan
banyak pilihan akan kitab-kitab yang hendak diajarkan untuk setiap tingkatnya.
Sehingga sangat mungkin kitab yang diajarkan satu pesantren berbeda dengan yang
diajarkan di pesantren lain, walaupun dalam tingkatan yang sama.
Catatan
yang cukup menarik pada sistem pembelajaran dii pesantren ialah : pertama, perpindahan dari satu tingkat ke tingkat yang lain, yaitu dari
tingkat awwaliyah ke tingkat wustha, dan dari wustha ke `aly pada
dasarnya terbuka luas. Sepenuhnya diserahkan kepada santri, atau secara negatif
tidak terkontrol. Para kyai di pesantren
biasanya hanya menyediakan pengajiannya saja.
Kedua, para kyai umumnya menjalankan sistem
“ijazah” atau “izin” kepada santrinya untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya
kepada orang lain. Umumnya, “ijazah” itu diberikan kepada santri yang diketahui
rajin dan diyakini berkemampuan serta mengikuti pengajiannya dari awal hingga
akhir. Bagi kyai sistem ini sebetulnya merupakan penerapan “belajar tuntas”
dalam pengertian diharapkan seorang santri menyelesaikan dulu secara tuntas
sebuah kitab, sebelum pindah ke kitab lainnya yang setingkat atau lebih tinggi.
Sebetulnya system ini pulalah yang memberikan mekanisme control diri kepada
para santri untuk tetap ditingkatnya atau melanjutkan ke tingkat di atasnya.
Ketiga, pembelajaran di pesantren selalu
menjaga keterkaitan materi pada suatu mata ajaran dengan mata ajaran lainnya.
Misalnya, apa yang diajarkan dalam ilmu Fiqh tidak dilepaskan dari hubungannya
dengan akhlaq atau dengan aqidah. Dengan demikian, nuansa komprehensif dari
pengetahuan santri bisa terpelihara.
Namun
demikian, memang perlu diakui, dengan sistem liberal pesantren dalam hal
pemilihan bidang ajaran dan
perjenjangannya, seperti tergambar di atas, sering terjadi sebuah kesenjangan
kemapuan yang cukup merugikan santri sendiri. Tidak jarang, seorang santri
telah mencapai taraf tinggi dalam hal
pengetahuan tertentu, namun ternyata masih berada pada kemampuan tingkat awal
pada pengetahuan dasar-dasar metodologisnya. Misalnya seorang santri berada
pada tingkat tinggi dalam fiqih, tetapi penguasaan terhadap ilmu-ilmu mantiq, ushul fiqh, dan qawa`id fiqh
masih berada di tingkat awal. Sebagai akibatnya, penguasaan atas materi fiqh
itu lalu bersifat hapalan saja, dan kurang mampu untuk dihadapkan pada situasi
yang berbeda dan erubah di lapangan kehidupan nyata. Hal serupa sangat mungkin
terjadi dalam bidang ajaran Tafsir
ataupun Hadits.
Kalau diikuti
latar belakang historis dari perjenjangan seperti ini, maka beberapa pendekatan
biasanya menjadi bahan pertimbangan untuk memperoleh susunan materi
pembelajaran yang mudah diterima para santri :
1.
Penggunaan
kategorisasi yang diterapkan pada teks-teks tersebut, sesuai dengan jenjang
yang diakui selama ini. Kalau materi pelajaran Fiqh sebagai contohnya, maka
pokok-pokok yang dikandung oleh teks-teks Matan Taqrib menjadi materi untuk
tingkat dasar, teks dari Fath al-Qarib dan Fath al-Mu`in menjadi materi untuk
tingkat menengah serta al-Muhhalla menjadi materi untuk tingkat tinggi.
2.
Pendekatan
sosio-historis, dalam pengerian bahwa, pembahasan sebuah topik ajaran diberikan pembahasan latar
belakangnya secara tuntas, misalnya dalam bentuk asbabun-nuzul, hikmah tasyri`
dan seterusnya. Walaupun masih perlu pengolahan, apa yang disajikan dalam
tafsir-tafsir klasik bil ma`tsur sudah
mengarah demikian.
3.
Pendekatan
studi kasus atau faktual. Pendekatan ini sesungguhnya merupakan pendekatan yang
umum dipakai di pesantren. Dengan pendekatan ini kejadian-kejadian yang
terdapat dalam realitas kehidupan mendapatkan pembahasan secara tuntas dari
berbagai bidang ajaran.
4.
Kerangka
kemasyarakatan yang jelas, juga biasanya menjadi penunjang bagi semua
pendekatan di atas; yaitu dengan jalan senantiasa dikemukakan dampak sosial
dari setiap kegiatan seorang muslim dalam menunaikan kewajiban agama.
Secara
umum, tujuan pengajian dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren pada setiap
mata ajaran ialah :
1.
Aqidah / Tauhid
Aqidah
merupakan sesuatu yang prinsip dan mendasar. Karena itu, hampir pasti setiap
pesantren memprioritaskan pengajian masalah ini. Karena itu, secara umum tujuan
utama dari pengajaran aqidah/Tauhid ini adalah menanamkan keyakinan tentang
ketauhidan Allah dan rukun iman yang lain kepada santri. Di tingkat menengah,
selain penanaman itu juga pengetahuan tentang argumentasi dari keyakinan
tersebut, baik secaa `aqli maupun secara naqli. Pada pesantren tinggi tujuan
pengajarannya lebih dikembangkan lagi, yaitu memperkuat pemahaman dan argumentasi
atas perbandingan dengan keyakinan-keyakinan dari agama lain. Semua itu
bermuara pada tujuan utama untuk membentuk pribadi mukmin yang mengetahui,
meyakini dan memahami dasar keimanannya, sehingga santri menjadi mukmin yang
tak tergoyahkan lagi.
Beberapa kitab
yang biasanya diajarkan untuk tingkat awal ialah : Aqidah al –Diniyah, Tijan Darari, Matn al-Bajuri, Sanusiyah, `Aqidat
al-`Awam, Khoridat al-Bahiyah, al-Dar al-Farid, Qhathr al-Ghaits. Sedangkan
untuk tingkat menengah kitab yang dapat
dan biasa diajikan adalah : Kifayat
al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Umm al-Barahin. Adapun untuk tingkat
tinggi sering diajarkan kitab-kitab seperti al-Husn
al-Hamidiyah dan Fajr al-Shadiq.
Gambaran umum
mengenai kitab-kitab yang biasa dijadikan pilihan di pondok pesantren adalah
sebagai berikut :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
`Aqidat al-`Awam
Tijan Dirari
Matn al-Bajuri
Sanusiyah
Al-Jauharat
Matn Kharidah
Bahiyyah
Badu al-Amal
Qathr al-Ghoyts
Qami` al-Thughyan
|
Syaikh Ahmad Marzuqi
Ibrahim al-Bajuri
Ibrahim al-Bajuri
Muhammad bin Yusuf al-Sanusi
Ibrahim al-Laqani
Muhammad Shiddiq
Abu Husayn Sirajuddin
Muhammad Nawawi
Muhammad Nawawi
|
2.
|
Menengah
|
Kifayat al-`Awam
Al-Dasqi
Al-Jawahir al-Kalamiyah
Umm al-Barahin
|
Muhammad al-Fadlali
Muhammad Al-Dasuqi
Thahir bin Shalih
Sayyid Muhammad Sanusi
|
3.
|
Tinggi
|
Husn al-Hamidiyah
Al-Fajar al-Shodiq
|
Sayyid Hussain Affandi
Affandi Shidqi az-Zahuri
|
2. Tajwid (Baca al-Qur`an)
Al-Qur`an
diajarkan hampir di seluruh pesantren.
Hal ini dapat dimengerti karena al-Qur`an memiliki kedudukan khusus dalam
ajaran Islam. Tujuan pemula dari pengajaran al-Qur`an di pesantren adalah pada
tingkat kemampuan membaca secara benar, yaitu fasih dalam ucapan setiap hurufnya, dan Jaudah (baik) dalam bacaan (persambungannya). Pada tingkat ini pun
pengajaran membaca al-Qur`an itu diarahkan pada bacaan-bacaan yang ada dan
diperlukan dalam shalat, khususnya surat
al-Fatihah yang merupakan bacaan wajib dalam setiap sholat, dan surat-surat pendek yang ada
dalam Juz`Amma (Juz ke tiga puluh).
Pengajaran
baca al-Qur`an di pesantren biasanya ditekankan pada :
Pertama, kemampuan mengenali dan membedakan
huruf-huruf al-Qur`an (huruf hijaiyyah)
secara benar.
Kedua, kemampuan untuk
mengucapkan/melafalkan kata-kata dalam al-Qur`an dengan fasih sesuai makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyyah dari
rongga mulut).
Ketiga,
mengerti dan memahami
hukum-hukum atau patokan-patokan pembacaan al-Qur`an. Yang terakhir ini,
merupakan tujuan pengajaran pembelajaran al-Qur`an pada tingkat menengah.
Seorang santri pada tingkat ini biasanya tidak dianggap cukup dengan hanya
mampu mengucapkan secara benar sesuai makhraj, melainkan dituntut pula untuk
dapat menjelaskan alasan- alasan mengapa suatu huruf dibaca demikian tetapi
pada tempat lain dibaca secara berbeda, apa hukum bacaan tersebut serta berapa
panjang nada baca an itu dan seterusnya. Bahkan terkadang alasan-alasan yang
diberikan santri harus didukung oleh dalil dari teks kitab tajwid tertentu. Hal
ini dimaksudkan agar para santri tadi tidak hanya mampu memahami dan menerapkan
penge tahuannya tentang tajwid ini
untuk dirinya, akan tetapi mereka juga mampu mengajarkannya kepada orang lain
kelak.
Pada
pesantren- pesantren yang secara khusus memusatkan perhatian pada al-Qur`an,
pengajaran al-Qur`an ditingkatkan pada penghafalan (tahfidz). Selain harus fasih dan jaudah (baik) santri di pesantren jenis ini diharuskan menghafalkan
al-Qur`an secara penuh. Pola penghafalannya sendiri amat bera gam, tetapi
secara umum ada dua model, pertama
yang menghafalkan dari surat-surat pendek juz 30 baru ke surat-surat yang
lebih panjang, kedua yang
mulai dari al-Fatihah terus ke bawah hingga akhir al-Qur`an.
Selain
itu, di kalangan pesantren, kefasihan dalam pembacaan al-Qur`an dimaksudkan
pula sebagai pintu dan sekaligus merupakan tolok ukur dalam penguasaan bahasa Arab.
Seorang alim di pesantren biasanya
dikaitkan pula dengan kefasihannya dalam membaca al-Qur`an dan mengucapkan
bahasa Arab. Sekalipun demikian, sesungguhnya seringkali kefasihan itu tidak juga
menggambarkan tingkat kemampuan atau penguasaan bahasa Arab, apalagi secara
lisan. Faktor ini memang merupakan bagian yang amat penting diperhati kan, yaitu guna mencari
jalan keluar agar pengajaran al-Qur`an memiliki kaitan langsung dengan
pengajaran kemampuan Bahasa Arab, baik aktif maupun pasif.
Pada
tingkat dasar, kitab-kitab Tajwid
yang biasanya diajarkan di pesan tren meliputi kitab : Syifa al-Jinan, Nadzam
Hidayat, al-Shibyan, atau Tuhfat al-Athfal. Kitab-kitab ini
berisikan uraian-uraian
tentang ilmu tajwid yang disajikan dalam
bentuk syair sehingga guna memudahkan santri pemula dalam meng ingatnya. Karena
biasanya syair-syair ini diucapkan dengan dilagukan sesuai selera santri itu.
Dalam kitab-kitab itu dijelaskan hukum bacaan alif lam, nun mati, mim mati,
panjang pendeknya suatu bacaan (mad),
tebal tipisnya bacaan suatu huruf serta yang lainnya. Penjelasan juga disertai
dengan contoh-contoh lafadz yang terdapat dalam al-Qur`an.
Pada
tingkat menengah, kitab-kitab tajwid
yang biasa menjadi bahan ajar adalah Al-Khoridat al-Bahiyyah, Hilyal al-Thilawah
wa Zinat al-Ada wa al-Qiraat, Nadzam Jazariyyah, atau Siraj al-Qaari. Pada
intinya uraian kitab-kitab tajwid tingkat menengah ini berisikan hal-hal sama
seperti pada kitab-kitab tajwid tingkat dasar, tetapi penjelasan yang
disampaikan lebih rinci dan lebih luas serta adanya penambahan-penambahan pada
beberapa segi, seperti adab dalam pembacaan, tenang perbedaan qiraat, dan lain sebagainya.
Adapun
buku teks yang menjadi pegangan untuk bidang pembacaan al-Qur`an pada tingkat
tinggi adalah kitab Qiraat al-Sab`ah.
Kitab ini tidak lagi men jelaskan tentang uraian
tajwid, tetapi berisikan uraian
tentang perbedaan-perbedaan qiraat
(pembacaan al-Qur`an) menurut tokoh-tokoh yang terkenal dengan sebutan “bacaan
Imam yang tujuh”. Pengambilan qiraat
dari para ahli pembacaan yang tujuh ini sengaja dilakukan karena mereka dinilai
memiliki peringkat bacaan yang muttawatir
(bacaan yang diterima dari Rasulullah melalui jalur periwayatan/sanad yang
shahih) sehingga tidak diragukan lagi kebenarannya.
Tujuan
dari pembelajaran tentang pembacaan al-Qur`an tingkat tinggi ini adalah agar
santri yang telah menguasai pengetahuan tentang tajwid juga memiliki
pengetahuan perbedaan-perbedaan pembacaan al-Qur`an menurut versi Imam yang
tujuh.
Daftar
kitab-kitab tajwid serta kitab qiraat yang menjadi pegangan kalangan pesantren
secara lengkap disajikan pada tabel berikut :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Nadzam Hidayatussibyan
Syifa al-Jinan
Tuhfatul Athfal
|
Sa`id bin sa`d Nabhan
Sa`id bin sa`d Nabban
Sulaiman bin Husein bin Muhammad al-jamzuri
|
2.
|
Menengah
|
Al-Khoridat al Bahiyyah
Hilyat al-Thilawah wa Zinat
al-Ada wa al-Qiraat
Hidayat al-Mustafid
Mursyid al-Wildan
Syifa al- Rahman
Nadzam jazariyyah
|
Muhammad Shiddiq
Syaikh Munajat bin Hannah
|
3.
|
Tinggi
|
Qira`at al-Sab`ah
|
Ibn Mujahid
|
3. Akhlaq/Tasawuf
Pesantren
umumnya memandang akhlaq dan kehidupan yang bersahaja itu sa ngatlah penting.
Bahkan melihatnya sebagai implementasi dari tingkat keimanan seseorang. Karena
itu, mata ajaran ini dijumpai di hampir setiap pesantren.
Lebih menarik lagi, ialah bahwa
pendidikan akhlaq/tasawuf di pesantren amat intensif sehingga dapat dijumpai
dalam tiga pola sekaligus.
Pertama, materi ini diajarkan secara hidden
atau tersembunyi yang dijumpai pada hampir seluruh mata ajaran yang ada.
Kedua, materi ini diajarkan secara khusus
melalui kitab-kitab yang tersedia. Ketiga, materi ini diaplikasikan dalam kehidupan
praktis di pesantren.
Kehidupan di pesantren
dengan sistem asramanya menerapkan secara nyata apa yang diajarkan atau
diterima oleh santri.
Adapun
tujuan pembelajaran Akhlaq/Tasawuf adalah membentuk santri agar memiliki
kepribadian muslim yang berakhlaqul karimah; baik dalam hubungan
nya dengan Allah atau hablum minallah (hubungan
vertikal) maupun dalam hubu ngannya dengan manusia, hablum minannas (hubungan horizontal) serta dalam hubungannya
dengan alam sekitar atau makhluk lainnya.
Dari
itu, maka materi yang dipilih untuk diajarkan di pesantren ialah mengenai sifat-sifat mahmudah seperti
pengendalian diri, sikap dan tatakrama dengan orang tua atau sebagai orang tua,
sikap dan tatakrama dengan teman sebaya, dengan yang lebih tua dan semisalnya,
bahkan sikap dan tatakrama seorang isteri kepada suami dan sebaliknya, yang
semuanya menyangkut kehidupan keseharian manusia.
Pembelajaran
pada tingkat awal atau permulaan menggunakan antara lain kitab : Akhlaq lil Banin serta Akhlaq lil Banat, Taysir al-Khallaq, al-Tahliyyah wa al-Targhib,
Nadzam Aly al-Bari. Kitab-kitab ini pada dasarnya menyajikan materi
pendidikan akhlaq yang meliputi pokok-pokok akhlaq yang berhubungan dengan
keluarga, tetangga dan lingkungan sekitar serta menumbuhkan sikap kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tujuan
pembelajaran akhlaq pada tingkat dasar adalah agar para santri memi liki
pengetahuan tentang akhlaq kepada orang tua, guru, kerabat, teman, tetangga,
serta dengan lingkungan sekitar sehingga mereka dapat membiasa kan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Sedangkan pembelajaran
pada tingkat menengah adalah menggunakan kitab : Ta`lim al-Muta`allim, Bidayat al-Hidayah, Risalat al-Mu`awanah, Nashaih
al-`Ibad, Nashaih al-Diniyah, al-Riyadh al-Badi`ah. Kitab Ta`lim Muta`allim
meng khusus kan
penyajiannya pada pelajaran akhlaq yang harus dimiliki oleh seo rang santri
dalam menuntut ilmu. Uraiannya terfokus pada sikap-sikap apa saja yang mesti
dilakukan oleh seorang santri dalam menuntut ilmu baik dalam hubungannya dengan
guru (kyai), dengan sesama santri, maupun bagaimana seharusnya mem perlakukan
buku-buku (kitab) yang dipelajarinya itu. Dengan kata lain, kitab ini merupakan
pedoman atau kode etik santri agar kegiatan belajarnya berhasil dengan baik
sesuai dengan yang digariskan oleh Islam. Sedangkan kitab-kitab selainnya
merupakan kitab yang menyajikan pe lajaran akhlaq secara umum, dalam arti tdak
khusus seperti kitab pertama. Pelajaran akhlaq yang disampaikan oleh kitab-kitab
itu menjelaskan tentang akhlaq kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepa da orang tua, kepada sesama
manusia, serta kepada semua makhluk. Ini semua dilakukan karena dilandasi oleh
kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada segala-galanya. Disam ping itu,
pelajaran yang disajikan oleh kitab-kitab ini adalah memperdalam ser ta
memperluas apa yang telah diberikan pada tingkat awal ditambah dengan hubungan
kemasyarakatan serta pengenalan akan ajaran-ajaran tasawuf.
Tujuan
pembelajaran akhlaq untuk tingkat menengah adalah membentuk san tri yang ber-akhlaqulkarimah dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama
manusia serta dengan sesama makhluk yang dilandasi oleh karena kecintaannya
kepada Allah Swt.
Untuk
tingkat tinggi kitab-kitab yang diajarkan adalah antara lain Kifayat
al-Atqiya, Mau`idzat al-Mu`minin, al-Hikam serta Ihya Ulumiddin.
Kitab-kitab ini tidak lagi hanya mengulas pelajaran akhlaq, tetapi lebih
diwarnai oleh corak tasawufnya dan dengan penjelasan-penjelasan yang lebih
filosofis. Dalam kitab Ihya Ulumiddin karya besar Imam Ghazali
dipaparkan di dalamnya berbagai perilaku yang harus dimiliki oleh manusia
sebagai hamba Allah dalam segala aspek hidup dan kehidupannya. Beliau
menjelaskan pula nuansa tasawuf dalam persoalan fiqh sesuatu yang terabaikan
selama ini karena fiqh oleh banyak ulama terlepas dari aspek batin
(akhlaq/tasawuf), cenderung pada aspek formalistik lahiriah. Pemaparan serupa
dapat ditemui pada kitab-kitab lainnya. Pelajaran akhlaq dikemas secara terpadu
dengan ajaran tasawuf dalam bentuk nasihat-nasihat ulama besar atau sufi serta
diuraikannya materi akhlaq itu secara filosofis dalam bentuk hikmah atau
kebijaksanaan dibalik perilaku atau perangai manusia.
Tujuan
pembelajaran akhlaq/tasawuf pada tingkat tinggi adalah agar para santri
memiliki wawasan akhlaq yang lebih menyeluruh dalam setiap aspek kehidupannya
sehingga perilaku mereka di hiasi oleh
akhlaq al-karimah yang dibimbing oleh hati yang suci.
Daftar kitab kuning yang
biasa menjadi bahan untuk pengajian akhlaq/tasawuf pada pesantren dengan semua
tingkatannya adalah sebagai berikut :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Akhlaq lil Banin & Akhlaq lil Banat
Tasyir al-Khallaq
Al-Tahliyyah Wa al-Targhib
Nadzam Aly al-Bari
|
Umar Ahmad ba Raja
Hafid Hasan al-Mas`udi
Sayyid Muhammad
|
2.
|
Menengah
|
Talim al-Muta`allim
Bidayat al- Hidayah
Risalat al-Muawanah
Nashaih al-`Ibad
Nashaih al-Diniyyah
Al-Riyadh al-Badi`ah
`Idzdzatun Nasyi`in
|
Syaikh Ibrahim bin Isma`il
Imam Ghazali
Abdullah bin Alawi
Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-`Asqalani
Muhammad Nawawi al-Jawi
Muhammad Hasbullah
Musthafa al-Ghulayani
|
3.
|
Tinggi
|
Kifayat al-Atqiya
Mau`idzat al-Mu`minin
Al-Hikam
Ihya Ulumiddin
|
Sayyid Abu Bakr
Muhamad Jamludin al-Qasimi
Imam Ghazali
|
4. Bahasa Arab (Nahwu – Sharaf)
Mata ajaran yang biasanya mendapatkan posisi
cukup penting, sehingga selalu ada di setiap pesantren ialah “ilmu alat”. Yang
dimaksud dengan “ilmu alat” ini biasanya meliputi Nahwu, Sharaf dan Balaghah.
Kadangkala dimasukan ke dalamnya Manthiq (Logika).
Pesantren,
sebagai lembaga pendidikan Islam, selain menganggap al-Qur`an dan al-Hadits
yang keduanya berbahasa Arab, umumnya juga menempatkan kitab-kitab berbahasa
Arab pada posisi unggul. Karena itu, kebanyakan kitab-kitab aji, atau buku-buku ajar di pesantren
didominasi oleh kitab-kitab yang berbahasa Arab, selain itu, pada waktu itu,
sumber-sumber pengetahuan keislaman memang kebanyakan ditulis dengan bahasa
Arab. Satu dua buku kelihatan dibuat berbahasa melayu atau bahasa daerah yang
dituliskan dengan huruf Arab pegon (Melayu).
Tetapi itu biasanya disipakan hanya untuk tingkat pemula. Pada tingkat menengah
dan tinggi buku-buku demikian sudah tidak dipakai lagi, semuanya berbahasa
Arab. Untuk itulah maka logis jika pesantren menekankan cukup kuat perhatian
terhadap ilmu-ilmu yang dianggap akan dapat menjadi alat untuk dapat
membaca,mengerti, dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab tersebut. Dalam
pandangan pesantren, penguasaan terhadap Nahwu, sharaf, dan balaghah merupakan
syarat kunci untuk memahami teks-teks al-Qur`an, Hadits, maupun kitab-kitab
berbahasa Arab.
Beberapa catatan yang kiranya dapat
diungkapkan berkaitan dengan pengajaran “ilmu alat” di pesantren ialah :
1.
Materi Nahwu, Sharaf dan Balaghah yang di ajji di
pesantren pada tahap tertentu melampaui batas kebutuhan minimal untuk sekedar
memahami teks, melainkan masuk lebih jauh yaitu menyangkut detail-detail yang
dapat digolongkan ke dalam ilmu-ilmu bahasa, “tentang” bahasa, yang hanya cocok
bagi mereka yang berniat untuk menjadi ahli bahasa.
2.
Penekanan
yang berlebiahan terhadap masalah i`rab atau perubahan
harakat pada akhir kata berhubung dengan perubahan kedudukan kata itu dalam
sebuah jumlah (kalimat). Demikian
juga terhadap i`lal, penjelasan
mekanisme perubahan
dari satu kata menjadi kata lain. Selain merupakan beban, penekanan terhadap
keduanya dapat mengurangi keberanian berbahasa. I`rab misalnya hanya salah satu
Qarinah (petunjuk) saja dari sekian banyak petunjuk lain untuk memahami makna
kalimat.
3.
Menempatkan
pembaacaan dan pemahaman teks sebagai puncak kemampuan berbahasa, seolah-olah
dengan itu keterampilan berbahasa yang lainnya dengan sendirinya akan
terkuasai. Sehingga kemampuan membaca teks kitab Arab ditempatkan sebagai
prioritas utama. Padahal pemahaman terhadap teks dari kitab-kitab berbahasa
Arab sebetulnya dapat dimulai dari pengembangan kemampuan berbahasa lainnya,
yaitu mendengar dan mengucap bahasa Arab secara
aktif, atau mengikuti urutan
psikologis penguasaan keterampilan berbahasa. Dengan demikian, pengajaran “ilmu
alat” dapat sedikit dikemudiankan, setidaknya dimulai dari tingkat menengah.
Beruntung bagi beberapa pesantren yang sempat mengimbangi pengajaran “ilmu
alat” itu dengan praktik khitobah ataupun
murasalah.
Pada
tingkat awal pengajaran Nahwu dan Sharaf biasanya dimaksudkan agar santri mampu
membuat (tashrif) kata-kata (kalam) Arab, dapat mengenali
jenis-jenisnya, mampu memastikan ucapan (harakat)
nya pada kedudukannya yang berbeda-beda dalam kalimat (jumlah, mampu mengenali dan membuat jumlah (kalimat) yang berbeda-beda. Pada tingkat menengah dan
tinggi tujuan yang diharapkan sama, hanya saja lebih detail dan lebih luas
karena menyangkut variasi-variasi dan anomaly-anomali kata dan kalimat yang ada
dalam bahasa Arab. Ilmu Balaghah biasanya diberikan pada tingkat tinggi untuk
mempertajam pemahaman terhadap makna kalimat dan mengenali keindahannya.
Kitab-kitab
wajib yang menjadi acuan utama kalangan pesantren untuk mempelajari bahasa Arab
adalah sebagai berikut :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Awamil
Jurumiyyah
Fath nabb al-Bariyyah
Syarh Jurumiyyah
Kaylani
Al-Bina wa al-Asas
Qawaid al-I`lal Asymani
Tashrif Mutammiah Qawaid al-Natstsar
|
Abdul Qahir al-Jurjaini
Ibrahim al-Bayjuri
Ahmad Zain Dahlas
Abu Husaen Ali bin Hisyam
Abdullah al-Danqizi
Mundzir bin Syaokh Asymani
Muhammad Ma`shum bin Ali
|
2.
|
Menengah
|
Al-Qawaid al-Sharfiyyah
Nadzam Masqshud
`Imrithi
Alfiyah ibn Malik
|
Syaikh Imrithi
Muhammad bin Abdullah bin Malik
|
3.
|
Tinggi
|
al-Jauhar
al-Maknun
Sullam al-Munawwaroq
Uqud al-Juman
|
Abdurrahman bin Muhammad al-Ansori
Jalaludin al-Suyuthi
|
5. Fiqih
Mungkin benar, jika
pesantren diidentikkan dengan fiqih. Fiqih merupakan mata aji yang selalu ada dan menjadi prioritas utama, pada setiap
pesantren. Dalam pandangan pesantren, agar dapat menjadi manusia muslim yang
benar, shalih dan kaffah seseorang harus
mengetahui (menguasai) dan tentu saja melaksanakan hukum-hukum Islam secara
benar dan konsekuen.
Seperti akhlaq, materi aji fiqih menyangkut segi-segi praktis
dalam hubungan manusia dengan Allah (ibadah) maupun hubungan manusia dengan
manusia (muamalah) dan makhluq yang lain. Bedanya, jika akhlaq memperhatikan
hubungan itu dalam kontek batin atau kejiawaannya, maka fiqih lebih menonjolkan
pada segi formal dan lahiriah hubungan tersebut.
Satu hal yang perlu
dipikirkan ulang dalam pengajian fiqih di pesantren ialah kesan orientasinya
pada materi fiqih sebagai produk, bukan sebagai proses. Dengan pengajian Ushul Fiqh,
sebetulnya hal itu dapat dieleminir. Akan tetapi, pengajian materi yang
terakhir ini biasanya dierikan pada pesantren menengah atau bahkan pesantren
tinggi, sedangkan materi fiqih diberikan sejak tingkat awal, dan ini bijaksana.
Padahal tidak setiap santri mendapatkan kesempatan melanjutkan ke tingkat yang
lebih atas.
Materi pelajaran syari`at Islam, atau fiqih biasanya
dibagi menjadi :
1)
Ibadah
(ibadah dalam arti sempit)
2)
Mu`amalat
(tentang kerja sama antar manusia semisal jual-beli, dll)
3)
Munakahat
(tentang pernikahan)
4)
Jinayat
(tentang pelanggaran dan pembunuhan).
Pengajian
ini akan terbagi pada tingkat permulaan, tingkat menengah dan tingkat tinggi. Ibadah biasanya diberikan pada tingkat
permulaan, sedangkan mu`amalat diberikan
pada tingkat menengah. Tingkat tinggi mengaji masalah munakahat dan jinayat.
Selain itu, pada tingkat tinggi biasabya dilakukan perluasan wawasan dengan
menjangkau pula fiqih-fiqih dari berbagai madzhab.
Kitab-kitab
yang menjadi referensi utama untuk materi fiqh adalah :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Sullam Munajat
Safinat al-Bjat
Sullam Taufiq
Fath al-Qarib
Safinat al-Salah
Minhaj al-Qawim
Bahjat al-Wasiil
Umdat al-salik
|
Muhammad Nawawi
Muhammad Nawawi
Muhammad Qasim al-Ghozi
Muhammad Nawawi al-Syafii
Syaihabuddin Abu Abbas
|
2.
|
Menengah
|
Tausyih ala ibn Qasim
Fath al-Muin
I`anat al-Talibin
Kifayat al-Ahyar
Fath al-Wahhab
al-Iqna`
|
Muhammad Nawawi al-Jani
Zaenuddin bin Abdul Aziz
Sayyid Abu Bakr
Imam Taqiyuddin Abu Bakr
Abu yahya Zakariyya
Al-Ansori
|
3.
|
Tinggi
|
Al Mahalli
Bidayat al-Mujtahid
Al-Mizan al-Kubra
Al-Fiqh ala Madzahib al-Arbaah
Al-Umm
Al-Muhadzdzab Fi fiqh al-Abu Imam Syafii
|
Jalaluddin bin Ahmad al-Mahalli
Ibn Rusyd
Abu al-Mawahib Abd. Wahab al-Jaziri
Imam Syafii
Abu Ishaq Ibarahim
|
6. Ushul
Fiqih
Selain fiqh, pesantren
juga perlu memberikan mata aji Ushul
fiqh. Ilmu ini berkaitan denga dasar-dasar dan metode untuk menarik sebuah
hukum (Istinbath). Fiqh pada tataran
tertentu adalah produk, prosesnya dicakup dalam Ushul Fiqh ini.
Dengan mengaji Ushul Fiqh santri diharapkan dapat
mengetahui proses bagaimana sebuah hukum dihasilkan, dari sejak menetapkan
masalahnya, pencarian dasar-dasarnya, penetapan alasan-alasan-nya, serta
bagaimana alasan itu diolah hingga sampai kepada keputusan tertentu. Pada
tingkat awal kebanyakan pesantren belum memberikan materi ini. Pemberiannya
pada tingkat menengah dalam rangka pengenalan yang diharapkan darinya ialah
kesadaran bahwa sebuah hukum itu lahir dari sebuah proses pertimbangan dan
pengolahan yang sistematis metodologis, sehingga dapat memahami dan
mentoleransi adanya perbedaan-perbedaan produk hukum, atau fiqh.
Untuk tingkat menengah,
selain mematangkan apa yang diperoleh pada tingkat pertama, biasanya
ditingkatkan melalui perluasan wawasan dengan mengetengahkan secara intensif
berbagai ragam proses pembuatan hukum. Di samping itu, pada tahap ini
ditingkatkan kajian studi khusus, sehingga dengan demikian santri diharapkan
mampu secara mandiri menetapkan hukum melalui proses-proses standard.
Adapun buku-buku teks yang
menjadi sumber materi Ushul fiqh adalah sebagai berikut :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
-
|
-
|
2.
|
Menengah
|
Waraqat al-Dimyathi
Ala Syarh al-al-Waraqat
Ghayat al-Wushul
Faraid al-Bahiyyah
|
Ahmad bin Muhammad Dimyati
Abu Yahya Zakaria al-Ansori
Abu Bakr al-Yamani
|
3.
|
Tinggi
|
Tashil al-Thuruqat
Jam`al-Jawami]Lathaif al-Isyarat
|
Imam Tajuddin Abdul Wahab al- Subhi
|
7. Ilmu Al-Qur`an
Sebagaimana
diketahui al-Qur`an merupakan kalamullah yang mengambil bentuk bahasa Arab dan
berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Agar firman Allah ini dapat
difungsikan sebagaimana mestinya, pemahaman akan maksud lafadz-lafadz dari
ayat-ayat al-Qur`an adalah suatu kemestian. Upaya memahaminya dalam disiplin
ilmu-ilmu keislaman disebut sebagai tafsir,
yaitu penjelasan dan perincian tentang makna-makna yang terkandung dalam
al-Qur`an baik yang dtersurat maupun yang tersirat berdasarkan metodologi
tertentu.
Secara
garis besar tafsir terbagi menjadi dua, tafsir
bi al-ra`yi dan tafsir bi al-ma`tsur.
Tafsir jenis pertama adalah penjelasan akan makna-makna al-Qur`an dengan
menitikberatkan pada pemahaman atau penalaran akal (rasio). Sedangdkan tafsir
jenis kedua adalah tafsir terhadap ayat al-Qur`an yang dalam penafsirannya
menitikberatkan penggunaan ayat-ayat lain, hadits nabi dan pendapat sahabat.
Kedua
macam cara penafsiran al-Qur`an ini telah dilakukan oleh banyak ulama, baik
ulama masa lalu maupun ulama sekarang. Tercatat berbagai karya ulama tafsir
;ahir dalam bentuk buku besar serta corak tafsir tertentu, seperti corak sufi,
hukum (fiqh) atau corak ilmu pengetahuan.
Pesantren
menjadikan tafsir sebagai salah satu materi pembelajaran yang utama dimaksudkan
sebagai upaya untuk membekali para santri dengan pemahaman terhadap ajaran
Islam secara uruh dan menyeluruh. Dengan itu diharapkan para santri memiliki
pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur`an. Selain itu, penguasaan akan
tafsir juga memiliki arti penting bagi para santri karena mereka dipersiapkan
untuk menjadi ulama yang mengajarkannya juga kepada orang lain tentang ajaran-ajaran Islam.
Mengingat pentingnya materi ini, kebanyakan pesantren tidak mengajarkan tafsir
pada santri pemula tetapi mulai diberikan kepada para santri tingkat menengah
serta tingkat tinggi. Pesantren yang sudah mengajarkan tafsir untuk santri
pemula biasanya hanya diberikan kitab tafsir “kecil” atau tipis halamannya.
Tafsir untuk tingkat dasar ini dimaksudkan hanya sebagai pengenalan bagi para
santri.
Dalam
pengajaran tafsir, penekanan utama diberikan pada : pertama, kemampuan mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur
kalimat (i`rab) serta mengetahui dan membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata)
ayat-ayat al-Qur`an baik ditinjau dari segi moefem (sharaf) maupun persamaan makna katamnya (mufradif). Kedua, asbabun
nuzul, makiyyah-madiniyah, serta nasikh
dan mansukh suatu ayat. Ketiga, kandunganutama ayat itu
secara tekstual maupun kotekstual sehingga santri menemukan relevansi ayat itu
dalam realitas kehidupan. Keempat,
perbandingan penjelasan makna ayat-ayat al-Qur`an dengan kitab tafsir lain. Kelima, pada beberapa pesantren tertentu
kitab tafsir yang dibaca ditekankan pada kitab tafsir yang bercorak hukum (tafsir ahkam).
Kitab
tafsir yang menjadi pegangan santri untuk tingkat dasar pada beberapa pesantren
tertentu di antaranya adalah tafsir yasin. Kitab ini hanya menguraikan
penafsiran terhadap ayat-ayat dalam surat
Yasin dengan penjelasan singkat bahkan menyerupai pengertian kata-kata (mufradat) sehingga dilihat dari jumlah
halamannya kitab ini sangatlah tipis. Sebagian pesantren bahkan menggunakan
kitab tafsir yang telah disusun oleh kyai setempat, yang biasanya terdiri dari
ayat-ayat terpilih dan telah diberi makana (diafsahi) dengan menggunakan bahasa daerah lokal, ataupun bahasa Indonesia.
Target
yang ingin dicapai dari pembelajaran tafsir pada tingkat dasar ini adalah agar
para santri mengenal dan mengetahui penafsiran ayat-ayat al-Qur`an dalam surat tertentu.
Untuk
tingkat menengah kitab-kitab tafsir yang banyak dibaca adalah pilihan dari
beberapa kitab tafsir, seperti Tafsir
jalalin, Shafwa al-Tafasir, al-Munir, danb tafsir-tafsir yang setingkat
dengan itu.
Model
pemaparan yang dipergunakan oleh kitab-kitab diatas ialah menggunakan metode tahlili, yakni si penafsir menguraikan
interpretasinya terhadap keseluruhan ayat dimulai dari al-Fatihah sampai al-Nas
secar berurutan. Dalam penjelasannya, penafasir menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an
secar singkat bahkan terkadang hanya berupa penjelasan kata atau persamaankata.
Tafsir Jalalain merupakan kitab
tafsir karangan dua ulama besar yakni Jalalluddin al-Mahalli dan Jalaluddin
al-a\Suyuthi sehingga kitan ini di beri nama Jalalain, dinisbahkan kepda nama
pengarangnya. Tafsir al-Munir merupakan kitab tafsir karya Imam Nawawi
al-bantani, seorang mufassir Indonesia abad 19.
penjelasan yang diberikan tafsir al-munir ini lebih panjang dibandingkan dengan
tafsir Jalalalin.
Syafawat
al-Tafasir merupakan katau uolama moderen abad 20, yaitu Syech Ali al-Shabuni,
yang kini mengajar di ummul Qura
University di Makkah.
Pada dasarnya Syafawat al-Tafasir
mengguhnakan pola yang sama dengan dua kitab sebelujmnya. Kelebihannya ialah
cara penjulisan, pembahasan dan bahasanya disesuaikan dengan perkembangan
moderen.
Tujuan
pembelajaran tafsir pada tingkat menengah adalah agar para santri memiliki
pengetahuan tentang makna ayat-ayat al-Qur`an melalui pemahaman kitab-kitab
tafsir hasil karya ulama baik yang klasik maupun moderen.
Pada
tingkat tinggi biasanya kitab-kitab tafsir yang menjadi materi pembelajaran
adalah Tafsir Showi, Tafsir Ibnu Katsir,
Tafsir Ayaat al-Ahkam, serta Tafsir al-Maraghi. Bahkan pada beberapa
pesantren dipergunakan juga kitab tafsir yang bercorak tafsir bi al-`ilm (ilmu
pengetahuan/science) yaitu tafsir Thantawi jauhari.
Tafsir
Ibn Katsir merupakan kitab tafsir dengan jenis tafsir bi al-ma`tsur. Sedangkan
kitab Tafsir Ayat al-Ahkam merupakan, kitab tafsir moderen karya Ali
al-Ahobuni. Isinya berupa penjelasan ayat-ayat tentang hukum yang telah dipilih
dengan menggunakan pendekatan fiqh (hukum) sebagai corak tafsirnya. Dan kitab
tafsir al-maraghi merupakan kitab tafsir karya ulama mutaakhirin (moderen)
dengan penjelasan-penjelasan yang lebih luas serta dalam. Tafsir Ibn Katsir,
dan al-m\Maraghi menggunakan sistematika penafsiran yang sama, yaitu secara
berurutan dari al-Fatihah sampai dengan surat
al-Nas atau dengan kata lain menggunakan metode tahlili dalam menguraikan
penjelasannya. Bedanya , karena tafsir al-maraghi ini merup[akan karya moderen,
maka dalam pembahasannyapun banyak mengembangkan ra`yu (tafsir bi al-ra`yi) dan
memasukkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan moderen.
Pada
tingkat tinggi ini, umumnya kalangan pesantren menggunakan kitab tafsir Shawi
serta kitab tafsir Ahkam sebagai pegangan utamanya.
Daftar
kitab-kitab tafsir yang diajarkan di pesantren dari tingkat dasar sampai
tingkat tinggi dapat dilihat pada table berikut :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Tafsir Yasin
|
|
2.
|
Menengah
|
Tafsir Jalalain
Shafwat Tafasir
Tafsir Munir
Tafsir al-Baidhawi
|
Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin al-Suyuti
M. Ali al-Shabuni
Syaikh Muhammad Nawawi
Imam Baidhawi
|
3.
|
Tinggi
|
Tafsir Shawi
Tafsir Ahkam
Tafsir al-Maraghi
Tafsir Ibn Katsir
|
M. Ali al-Shabuni
Musthafa al-Maraghi
Ibn Katsir
|
8. Ilmu
Tafsir
Salah
satu ilmu yang juga diajarkan di pesantren ialah ilmu Tafsir (`Ulum al-tafsir).
Sekalipun demikian tidak banyak pesantren yang mengajarkannya, kecuali hampir
pasti diajarkan pada pesantren-pesantren yang memiliki kekhususan al-Qur`an.
Ilmu ini bermanfaat untuk mengetahui “tentang” al-Qur`an dan sangat berguna
sebagai alat Bantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an. Di dalamnya
dikemukakan seperangkat teori atau ilmu yang baik secara langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan upaya untuk memahami secara relative benar isi
kandungan al-Qur`an.
Ilmu
Tafsir ini diajarkan kepada para santri sebagai pelengkap dari materi tafsir.
Bila dalam tafsir yang dipelajari oleh mereka adalah hasil atau produk
penafsiran yang dilakukan oleh orang
lain, maka dalam Ilmu Tafsir yang menjadi perhatian adalah ilmu-ilmu yang
dibutuhkan dan berguna untuk menafsirkan teks al-Qur`an. Topik-topik yang
dibahas dalam ilmu ini antar lain : Apa dan bagaimana al-Qur`an itu,
syarat-syarat untuk menjadi mufassir, kaidah-kaidah menafsirkan al-Qur`an,
metode menafsirkan al-Qur`an setta ilmu-ilmu lain yang berguna untuk mengenal,
mengerti dan memahami teks-teks bahasa al-Qur`an yang bahasa Arab.
Dengan
demikian setelah memahami dan dmenguasai ilmu-ilmu ini diharapkan para santri
dapat menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an, atau paling tidak, mereka dapat memahami
cara-cara atau metode yang dipergunakan para mufassir di dalam menafsirkan
al-Qur`an, serta mengapa seorang mufassir berkesimpulan seperti ini atau out.
Akan halnya pesantren menganggap ilmu ini amat penting sesungguhnya dengan mudah
dapat dimengerti, yaitu karena para santri dididik tidak hanya untuk
kepentingan pribadinya, tetapi juga untuk kepentingan ummatnya. Lagi pula
mereka dipersiapkan tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk masa depan
yang akan dihadapinya kelak setelah kembali kepada masyarakat. Sehingga para
santri yang diharapkan berfungsi sebagai penerjemah al-Qur`an dalam kehidupan
masyarakat yang dibimbingnya akan senantiasa dapat memahami al-Qur`an secara
relevan untuk setiap masa sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Qur`an itu
sendiri.
Pada
tingkat awal, para santri belum diberi materi Ilmu tafsir karena bobot materi
yang terkandung didalamnya cukup berat untuk santri tingkat pemula yang belum
mengenal secara luas kitab-kitab tafsir serta belum menguasai ilmu nahwu,sharaf,
balaghah, manthiq dan sejenisnya.
Di
tingkat menengah, kepada para santri mulai diperkenalkan materi Ilmu tafsir.
Kitab-kitab yang diajarkannya meliputi kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur`an serta
kitab Qawaid al-I`rab. Kitab pertama merupakan karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi
yang termasuk ulama terkemuka dalam bidang ilmu tentang al-Qur`an. Di dalamnya
secara garis besar diuraikan pengertian al-Qur`an, cara-cara al-Qur`an
diturunkan, pengkodifikasian al-Qur`an, penyempurnaan al-Qur`an sertta ilmu-ilmu
yang tumbuh yang berusaha mempelajari.mengkaji al-Qur`an dari berbagai segi.
Sedangkan kitab kedua, Qawa`id al-I`rab
berisi kaidah-kaidah kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat atau struktur
ayat dalam al-Qur`an.
Tujuan
pembelajaran ilmu tafsir pada tingkat menengah adalah agar setelah mempelajari
kitab-kitab di atas para santri memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu
yang diperlukan untuk memahami makna al-Qur`an serta mengetahui pola struktur
kalimat yang digunakan dalam al-Qur`an.
Untuk
tingkat tinggi kitab-kitab yang bias diajarkan antar lain adalah, Ilm al-Tafsir
karya al-Nawawi, al-tafsir wa al-Mufassirin karya al`Dzahaby, atau Asrar Tartib
al-Qur`an karya Jalaluddin al-Suyuthi. Tujuan pembelajaran ilmu tafsir pada
tingkat ini biasanya ditekankan pada pemahaman dan penguasaan metodologi
penafsiran, sehingga para santri nantinya mampu melakukan secara mandiri
penafsiran yang benar dan memadai terhadap al-Qur`an.
Secara
umum kitab-kitab yang dapat atau biasa dipakai untuk pengajian Ilmu Tafsor di
pesantren adalah :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
-
|
|
2.
|
Menengah
|
Al-Itqan fi`Ulum al-Qur`an
Qawaid al-I`rab
Al-Itmam al-Dirayah
|
Jalaluddin al-Suyuthi
Syaikh Yusuf Abdul Qadir Al-Barnawi
|
3.
|
Tinggi
|
Ilmu Tafsir Al-Tafsir wa al Mufassirin
Asraru tartib al-Qur`an
|
Syaikh Muhammad Nawawi al-Dzahabi
Jalaluddin al-Suyuthi
|
9. Hadits
Hadits
merupakan mata aji penting di
pesantren. Karena itu, di setiap pesantren selalu dijumpai pengajaran hadits.
Pengajian
hadits pada pesantren tingkat awal biasanya bertujuan untuk memperkenalkan
hadits secara tidak langsung. Yang lebih ditonjolkan adalah kandungan materinya. Materi yang dipaparkan
biasanya juga merupakan materi-materi utama tingkat dasar pula, seperti tentang
iman, tentang islam, ikhsan atau akhlak-akhlak utama. Karena itu, hadits yang
diangkatnyapun biasanya pendek-pendek dan mulai dari sahabat, dengan tidak
menampilkan silsilah sanad
yang lengkap. Jika pun dari kitab yang tersedia dijumpai sisilah sanad yang lengkap, hal itu
tidak lantas menjadi pembahasan. Jelasnya konsentrasi pengajiannya terpusat
pada matan dan dengan pembahasan yang sederhana saja, sesuai dengan kemampuan
santri pada tingkat ini.
Kitab-kitab
yang dapat atau banyak digunakan untuk pengajaran hadits pada tingkat ini ialah
Tsalats al-Rasail karya ustadz Abu said al-Khadimi, Arba` al-rasail karya Ahmad
Zaini Dahlan, maupun Arbain al- Nawawi karya Imam Nawawi.
Pada
tingkat Wustha, corak pengajaran hadits tampak
lebih jelas. Perhatian kepada sanad hadits mulai
ditekankan, begitu juga terhadap rijal al-haditsnya, demngan tetap memberikan
perhatian pada kandungan
matan. Jadi tujuannya lebih meningkat dari tingkat awal. Adapun kitab-kitab
yang biasa digunakan pada tingkat ini ialah Bulughj al-maram karya al-Hafidz
Ibn Hajar al-`Asqalani, dan Mukhtar al-Alhadits yang disusun oleh al-Sayyid
Ahmad al-Hasyimi Bek.
Pada
tingkat `Aly pengajian hadits benar-benar telah memasuki tahap lengkap.
Tujuannya adalah penguasaan lengkap terhadap hadits yang dipelajari, yang meliputi
pengetahuan tentang sanad dan variasi sanadnya, sosok dan karekater perawinya, cara
periwayatannya, serta matan dan variasinya, berikut asbab al-wurudnya dan
materi kandungannya.
Pada tingkat ini, kitab yang diharapkan dan sering dipakai ialah kitab-kitab
hadits standard seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Muwatha Malik, dan
kitab-kitab Sunan. Di banyak pesantren kitab yang banyak dibaca ialah kitab
Shahihain itu. Tetapi, banyak juga yang sudah mulai melengkapi bacaannya dengan
kitab-kitab sunan Karen dianggap memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri.
Secara
umum kitab-kitab yang dapat dipilih sebagai bahan aji di pesantren adalah :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Hadits Arba`in Nawawi
Tsalats Rasa`il
Arba`rasa`il
Abi Jamroh
Tanqih al-Qaul
|
Yahya bin Syarafuddin Nawawi
Abu Sa`id al-Khadimi
Ahmad bin Zaini Dahlan
Muhammad Ali al-Syafi`i
|
2.
|
Menengah
|
Riyadus sholihin
Bulughul maram
Mukhtar al-Ahadits
Jawahir al-Bukhari
|
Jalaluddin al-Mahallui dan Jalaluddin
al-suyuthi
Al-Hafid bin Hajar al-`Asqalani
Sayyi Ahmad al-Hasyimi
|
3.
|
Tinggi
|
Subulus salam,
Jami` al-Shaghir
Shahih Bukhori
Shahih Muslim
Sunan Abu Dawud
Sunan Tirmidzi
Sunan Nasai
Sunan Ibn Majah
al-Muwathatha
|
Al-Kahlam
Jalaluddin al-0suyuthi
Bukhori
Muslim
Abu Dawud
Tirmidzi
Nasa`i
Ibn Majah
Imam Malik
|
10. Ilmu
Hadits
Ilmu
hadits juga diajarkan di pesantren. Hanya saja, selama ini urutannya tidak jelas jika dikaitkan dengan
pengajian haditsnya sendiri. Sebaiknya memang ditetapkan Ilmu Hadits diajarkan
sebelum Hadits. Akan tetapi, pengajaran di pesantren yang mensejajarkan antara
keduanya secara bersamaaan sebetulnya juga bias mengerti. Alasannya,
sesungguhnya yang menjadi priorotas adalah pengetahuan mengenai pesan-pesan
yang ada dalam hadits untuk bias segera difahami, dihayati, dan selanjutnya
diamalkan.
Dalam
posisi demikian, beberapa pesantren baru mengajarkan Ilmu Hadits pada tingkat
menengah. Tujuan pengajian ilmu hadits di pesantren tingkat menengah dan
tingkat tinggi dalah agar para santri mengetahui seluk-beluk hadits, dari mulai
posisinya sebagai sumber hukum, sejarah penulisannya, kualitas dan
jenis-jenisnya yang baik dilihat dari segi matan, sanad, atau keduanya, kitab-kitabnya,
perawi-perawinya dan seterusnya. Pada tingkat tinggi, biasanya juga ditambah dengan
keterampilan takhrij al-Hadits, yaitu keterampilan untuk menetapkan kualitas
hadits berdasarkan metode-metode yang ada. Pengajaran mengenai yang terkahir
ini memang baru diperkenalkan di beberapa pesantren, tetapi amat strategis dan
sangat dibutuhkan. Dengan kemampuan takhrij ini diharapkan santri dapat
melakukan kajian mandiri mengenai status dan kualitas hadits.
Kitab-kitab
yang biasa dikaji adalah Minhaj al-Mughits karya al-Hafidz hasan al-Mas`udi,
`Ilm Mushtolah al-hadits karya ABd. Qadir hasan, Taisir Musthalah al-hadits
karya Dr. Mahmud at-Thahhan, Ulum al-ZHadits wa Mustholahuh karya Dr. Subhi
Shalih, Minhaj Dzaqi al-Nadzar karya Ulama Indonesia Muhammad Mahfudz
al-Termasi, al-Manhal al- latif fi Ushul al-hadits a; syarif karya al-sayyid
Muhammad al-`alawy al-Maliky, dan kitab-kitab lain yang umumnya sepadan. Adapun
kitab-kitab takhrij yang dapat diajarkan untuk tingkat tinggi adalah : Thuruq
Takhrij Hadits Rasulillah karya Abu Muhammad Mahdi ibn Abd. Qadir ibn Abd.Hadi,
Ushul Takhrij wa dirasal al-Asanid karya Dr. Mahmud al-Tahhan, Manhaj
al-Muhadditsin fi Dhabt al-sunnah karya Dr. Mahmud Ali al-Fayyad dan
sebagainya.
11. Tarikh
(Sejarah Islam)
Pesantren
secara khusus juga memberikan mat aji tarikh. Itu di luar yang biasanya secara
tidak langsung didapat melalui mata-mata aji lain. Seperti al-Qur`an, Hadits,
Fiqih, atau bahkan Akhlaq.
Tujuan
dari pengajiannya ialah untuk mengenal secara kronologis pertumbuhan dan
perkembangan umat Islam semenjak masa rasulullah hingga masa kehidupan Turki Ustmani.
Materi yang disajikan meliputi kondisi jazirah Arabia sebelum kelahiran
Muhammad, kondisi jazirah Arabia setelah Muhammad menjadi rasul sampai kepada
Islam keluar menembus Persia,
Byzantium dan
Asia Timur serta Afrika hingga tersebarnya islam ke berbagai penjuru dunia masa
Turki Ustmani dan perkembangan umat Islam hingga sekarang.
Pada
tingkat awal, materi yang diberikan biasanya dibatasi hingga hanya pada masa
rasulullah. Sejarah pada masa Khulafa al-rasydin baru diberikan pada tingkat
menengah. Pada tingkat tinggi, materi biasanya dimulai juga dari sejak awal
hingga masa temporer, namun tekanannya tidak terbatas pada fakta sejarah, namun
menjangkau makna di balik fakta itu. Jelasnya p0ada tingkat tinggi, selain di
aji fakta-fakta sejarah, juga dilakukan kajian terhadapnya sehingga dapat
dotarik makna-makna dan kesimpulan-kesimpukan yang lebih dalam lagi.
Kitab-kitab
yang menjadi bacaan utama kalangan pesantren adalah :
No
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusunan
|
1.
|
Awal
|
Khulashah Nurul yaqin
Qishshat al-Mi`raj
Madaryj al-Shu`ud
Nur`al-Dzalam
Duru Tarikh Islam
|
Syaid Ahmad Darderi
Muhammad Nawawi al-Bantan
Muhammad Nawawi
|
2.
|
Menengah
|
Sirah ibn Ishaq Nurul Yaqin
|
|
3.
|
Tinggi
|
-
|
-
|
BAB IV
PENGEMBANGAN
DAN PEMBINAAN PONDOK PESANTREN
Upaya Pengembangan dan pembinaan pondok pesantren dapat
dikatakan sebagai upaya transformasi pondok pesantren agar tetap survive dan semakin berkembang kearah yang lebih baik.
Upaya transformasi ini dilakukan dengan
landasan kaidah yang menunjukkan bahwa pondok pesantren memang berupaya terus
untuk meningkatkan eksistensi dengan melakukan berbagai pengembangan dan perubahan
kearah yang lebih baik.
Dalam
rangka meningkatkan peranan pondok pesantren di masa depan, maka hendaknya
pondok pesantren dapat mengembangkan komponen-komponen sebagai berikut :
A.
Pengembangan
1.
Pendidikan
Agama atau Pengajian Kitab
Pendidikan agama melalui pengajian
kitab yang diselenggarakan oleh pondok pesantren adalah komponen kegiatan utama
pondok pesantren. Dari segi penyelenggaraannya, diserahkan sepenuhnya kepada
kebijaksanaan kyai atau pengasuh pondok pesantren. Maksud kegiatan pengajian
kitab ini terutama adalah untuk mendalami ajaran agama Islam dari sumber
aslinya ( kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama pada Abad Pertengahan), sehingga terpelihara
kelestarian pendidikan keagamaan untuk melahirkan calon ulama sebagaimana misi
pondok pesantren.
2.
Pendidikan
Dakwah
Pendidikan
dakwah, seperti halnya pendidikan agama (pengajian), merupakan salah satu pokok
penyelenggaraan pondok pesantren. Bahkan, seperti telah diungkap di atas,
pondok pesantren dapat berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang menyebarkan
ajaran agama Islam secara benar. Melalui pendidikan ini, tentunya dipahami
bahwa ada keinginan untuk melahirkan kader-kader ulama yang dapat membantu
menyebarkan ajaran Islam secara benar. Pendidikan semacam ini dapat
dikategorikan sebagai pendidikan keterampilan santri. Yang populer dewasa ini
adalah penyelenggaraan majelis taklim oleh pondok pesantren.
3.
Pendidikan
formal
Pendidikan
formal diselenggarakan dalam bentuk madrasah atau sekolah umum serta sekolah
kejuruan lainnya. Dengan mengembangkan dan membina pendidikan formal di podok
pesantren, diharapkan lulusan pondok pesantren, disamping menguasai pengetahuan
agama dan keterampilan praktis juga memiliki pengetahuan akademis yang
bermanfaat bagi kehidupannya di kemudian hari.
Memang,
dapat dikatakan bahwa para lulusan madrasah dinilai memiliki pengetahuan yang
tanggung. Pengetahuan agama tidak lebih baik dari lulusan pondok pesantren, sedangkan
pengetahuan umumnyapun masih lebih baik lulusan sekolah formal. Sehingga
peranan madrasah di pondok pesantren sangat diharapkan meningkatkan pengetahuan
agama para lulusannya, dan juga keterampilan praktisnya yang dilakukan di
pondok pesantren.
4.
Pendidikan
Seni
Pendidikan
seni dimaksudkan untuk lebih meningkatkan apresiasi para santri terhadap
bermacam-macam bentuk kesenian. Terutama seni yang bernafas
kan Islam.
Kegiatan ini sesungguhnya sudah lama diselenggarakan dan berkembang di kalangan
pondok pesantren. Seperti pembacaan syair Maulid, seni rebana, gambus, qasidah,
pencak silat dan berbagai jenis musik yang berkembang saat ini, sudah bukan
lagi hal baru bagi sebagian pondok pesantren. Seni Teater kontemporer,
penulisan puisi dan prosa sudah banyak diminati oleh santri pondok pesantren.
5.
Pendidikan
Kepramukaan
`
Pendidikan
Kepramukaan merupakan suatu sistem pendidikan (di luar pendi dikan rumah
tangga, masyarakat dan sekolah) yang sangat baik. Kreativitas, disiplin dan
dinamika santri dapat meningkat dengan pendidikan kepanduan ini. Pondok
pesantren dengan sistem “24 jam”nya sangat memungkinkan untuk menyelenggarakan
kegiatan kepramukaan ini.
6.
Pendidikan
Olahraga dan Kesehatan
Pendidikan
olahraga dan kesehatan ini besar sekali manfaatnya untuk menjaga keseimbangan
dan kesehatan jasmani. Para santri yang sehat
merupakan modal untuk melahirkan penerus bangsa yang sehat pula. Dalam kaitannya dengan pendidikan kesehatan ini,
harus diciptakan sanitasi di lingkungan pondok pesantren yang bersih dan sehat.
Pada beberapa Pondok pesantren telah terbentuk Poskestren (Pos
Kesehatan Pesantren) yang penyiapan bangunannya dibantu oleh instansi terkait.
7.
Pendidikan
Keterampilan/Kejuruan
Pendidikan
keterampilan dan kejuruan dikembangkan di pondok pesantren untuk kepentingan
dan kebutuhan para santri sebagai modal
untuk menjadi manusia yang bersemangat wirasawasta (enterpreneurship) dan sekaligus menunjang pembangunan masyarakat
di lingkungan pondok pesantren.
Banyak
jenis pendidikan keterampilan yang dapat dikembangkan di pondok pesantren.
Bahkan beberapa pondok pesantren telah
menjadikan kegiatan keterampilan dan kejuruan ini sebagai trademark atau ciri khasnya. Di antaranya :
a.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan elektronika.
b.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan menjahit, merajut dan pendidikan keluarga lainnya.
c.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan kerajinan tangan, anyaman serta pertukangan kayu dan batu.
d.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan perbengkelan.
e.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan pertanian; pertanian,peternakan, perikanan, kehutanan,
dan perkebunan (agribisnis).
f.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan pengolahan hasil pertanian (agroindustri).
g.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan manajemen dan perkantoran.
h.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan perkoperasian.
i.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan computer dan informatika.
j.
Pendidikan
keterampilan/kejuruan percetakan, sablon dan desain.
8.
Pengembangan
Masyarakat
Pengembangan
Masyarakat di lingkungan pondok pesantren diselenggarakan, mengingat potensi
dan pengaruh pondok pesantren yang luas dan kuat pada masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka pondok pesantren sangat baik untuk dimanfaatkan dalam
pengembangan dan pembangunan masyarakat lingkungan pondok pesantren, sehingga
dengan demikian melalui pondok pesantren dapat dikomunikasikan arah pembangunan
ekonomi rakyat dengan bahasa agama.
Dapat
pula dikaitkan dengan pendidikan keterampilan dan kejuruan, yang dikembangkan
dalam bentuk aplikasi atau penerapannya di masyarakat. Dalam arti, hasil yang
diperoleh dalam pelaksanaan pendidikan keterampilan langsung diterapkan di
lingkungan pondok pesantren atau masyarakat sebagai langkah pemberdayaan.
9.
Penyelenggaraan
kegiatan sosial
Penyelenggaraan
kegiatan sosial yang diselenggarakan pondok pesantren merupakan kegiatan yang
sangat penting dikembangkan mengingat perolehan pengajaran yang layak menjadi
hak asasi bagi setiap orang.
Karenanya bagi mereka yang kurang beruntung dapat ditempatkan atau disertakan
dalam kegiatan panti asuhan dan Sekolah Luar Biasa (SLB) d pondok pesantren.
Dalam proses pengembangan komponen
tersebut, tentunya akan berdampa pula pada pengembangan kepribadian para santri
secara individual.
Sehingga jika pendidikan tersebut diselenggarakan secara komprehensif, maka
akan terbentk pribadi yang utu dan integral, “ Insan Kamil.” Adapun
pengembangan individual tersebut adal : pengembangan keagamaan, semangat ukhuwah
Islamiyah, inelektual, estetika (keindahan), etika (moral), kepedulian
masyarakat, perkembangan jasmani, rohani dan keterampilan.
Upaya
pembinaan dapat diartkan sebagai upaya pemberdayaan dan peningkatan mut pondok
pesantren agar dapat memenuhi misi dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan,
keagamaan dan pengembangan masyarakat. Upaya pembinaan terhadap pondok
pesantren dapat dilakukan terhadap dua aspek utama :
1. Aspek
Non-Fisik (kegiatan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren) :
a. pendidikan agama/pengajian kitab;
b. pendidikan dakwah;
c. pendidikan formal;
d. pendidikan seni;
e. pendidikan kepramukaan;
f. pendidikan olahraga dan kesehatan;
g. pendidikan keterampilan/kejuruan;
h. pengembangan masyarakat;
i. penyelenggaraan kegiatan sosial;
2. Aspek
fisik (sarana dan prasarana atau fasilitas kegiatan ponpes) :
a. Mesjid;
b. Perumahan kyai dan Ustadz;
c. Asrama/pondok;
d. Perkantoran dan perpustakaan;
e. Gedung pendidikan/tempat pengajian;
f. Aula/balai pendidikan dan pelatihan;
g. peralatan penunjang kegiatan pendidikan;
h. Balai kesehatan;
i. Lapangan olahraga dan kepramukaan;
j. Workshop dan koperasi; dan
k. Lingkungan masyarakat;
Pengembangan
atau pembinaan pondok pesantren pelaksanaannya diharapkan berdasarkan pada
prinsip-prinsip :
a.
Pondok
pesantren merupakan lembaga yang independent. Sehingga dalam paya pembinaan
tersebut diupayakan untk tdak mengganggu, mempertanyakan, apalagi menggugat
independensi pondok pesantren.
b.
Pada
dasarnya, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan keagamaan. Oleh karena
itu upaya pembinaan dilakukan dalam rangka memantapkan peranannya sebagai
lembaga pendidikan dan keagamaan tersebut. Dalam arti sesuai dengan tujuan
pencapaian yang diinginkan institusi pondok pesantren.
c.
Dalam
perkembangan pondok pesantren yang sangat beragam dan berbeda-beda ini,
didasarkan pada potensi dan bentuknya pula yang beragam dan berbeda-beda.
Karenanya, pengembangan keterampilan yang akan dikembangkan haruslah sesuai
dengan potensi pondok pesantren yang ada dan masyarakat sekitarnya.
d.
Karena
peranannya sebagai lembaga pengembangan masyarakat, maka pembinaan yang
dilakukan haruslah atas dasar koordinatif partisipatoris dengan masyarakat
sekitar, pondok pesantren sendiri, pemerintah setempat dan dinas-dinas atau
instansi terkait lainnya.
B.
Kelemahan
Pondok Pesantren
Kelemahan ini dapatdiartikan sebagai
target yang ingin diberdayakan dalam upaya pembinaan pondok pesantren. Dengan
meminimalkan kelemahan ini, maka usaha mengoptimalkan peran pondok
pesantren akan semain mudah. Diantaranya adalah :
1.
Manajemen
pengelolaan pondok pesantren; ini memang dimungkinkan terjadi oleh karena
pemahaman bahwa pondok pesantren adalah lembaga tradisional, sehingga
pengelolaan manajemennya tidaklah menjadi hal yang serius diperhatikan dan
sangat konvensional. Terlebih dengan wataknya yang bebas, sehingga menjadikan
pola pembinaan pondok pesantren tergantung hanya pada kehendak dan
kecenderungan pimpinan saja, padahal sesunggunya potensi-potensi yang ada dapat
diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok pesantren.
Oleh
karena itu, pengelolaan pondok pesantren sebaiknya mulai diarahkan kepada
manajerial yang aplikatif dan fleksibel, sehingga dapat mengakomodir berbagai
kepentingan pihak pimpinan, namun tetap dalam kerangka manajemen yang baik.
2.
Kaderisasi
pimpinan pondok pesantren; kaderisasi merupakan syarat yang harus ada pada
setiap organisasi, termasuk organisasi kependidikan seperti pondok pesantren.
Sehingga tongkat estafet amanat pengembangan pondok pesantren kea rah yang
lebih baik tetap terjaga. Ini perlu diperhatikan, karena banyak pondok
pesantren yang kegiatannya menjadi mati, dikarenakan wafatnya pimpinan pondok
pesantren.
Dikarenakan yang dapat diturunka kepada penerus secara
konkritnya adalah ilmu, sedangkan kharisma pimpinan pondok pesantren tidak
dapat diwariskan, maka upaa kaderisasi menjadi sangat penting.
3.
Budaya
demokratis dan disiplin; dal ini memang berkaitan erat dengan watak pondok
pesantren yang independent itu. Peningkatan budaya demokratis dan disiplin
perlu diupayakan agar pondok pesantren dapat mengimbangi perkembangan yang
terjadi di luar dan terjamin kualitas para pengelola dan lulusannya. Walaupun
sesungguhnya, sikap demokratis pondok pesantren itu terpancar dari sistem
konvensional pondok pesantren yang memberikan hak bagi para santri untuk
memilih bidang kajian yang diinginkannya.
Pengelolaan pondok pesantren tdak lagi terpusat (sentralisasi) pada kyai saja. Namun didelegasikan
(desentralisasi) kepada badal, ustadz
atau santri senior untuk mengelola bidang-bidang tertentu yang dapat
idelegasikan kepada mereka. Termasuk dalam hal ini adalahberkembangnya budaya
musyawarah untuk menentukan langkah atau kegiatan selanjutnya pondok pesantren.
Adapun kedisiplinan pondok pesantren, baik dalam hal
manajemen, pembelajaran maupun lainnya, sebaiknya lebih ditingkatkan, karena
dengan disiplin yang baik akan tercipta keteraturan dalam pengelolaan dan
merupakan salah satu langkah untuk membentuk watak santri. Meskipun demikian,
fleksibilitas pondok pesantren tetap diperhatikan.
4.
Kebersihan
di lingkungan pondok pesantren; kekurangan ini merupakan hal yang hamper merata
terdapat di pondok pesantren. Bahkan ada image
bahwa kumuh dan berantakan merupakan hal yang biasa di pondok pesantren. Namun
tentu saja hal ini merupakan suatu tantangan
bagi pondok pesantren untuk berusaha menghilangkan image seperti itu.
Kebersihan seharusnya sudah menjadi tradisi bagi pondok
pesantren, baik itu kebersihan pribadi, kebersihan sanitasi dan kebersihan
lingkungan pondok pesantren. Bahkan pondok pesantren harus dapat menjadi
pelopor bagi terciptanya lingkungan yang bersih pada masyarakat sekitarnya.
Termasuk juga dalam hal ini adala
orosinalitas pondok pesantren yang semakin lama semakin menghilang, khususnya
pada pondok-pondok pesantren yang mulai menyelenggarakan pendidikan formal.
Pondok pesantren salafiyah yang memiliki “kurikulum” sendiri, kemudian
menyelenggarakan pendidikan formal, keaslian pendidikan atau pengajiannya
sebaiknya tetap dipertahankan. Meskipun hal ini tidak banyak terjadi, namun
fenomena yang menggejala kea rah yang demikian ada. Pondok pesantren yang tetap
menjaga keaslian dan kemurniannya merupakan pondok pesantren yang mencirikan kebebasannya.
Untuk itu diharapkan, pondok-pondok
pesantren tetap menjaga keaslian dan kemurniannya, meskipun melakukan
transformasi dalam pengembangannya, baik itu di bidang pendidikannya,
keagamaan, dan lainnya.
C. Sistem Manajemen dan Pengelolaan
Pondok Pesantren
Dalam
penyelenggaraan pondok pesanten, dapat diungkapkan, bahwa ada 3 faktor yang
berperan dalam sistem penyelenggaraan pondok pesantren. Yaitu : manajemen
sebagai faktor upaya, organisasi sebagai
faktor sarana, dan administrasi
sebagai faktor karsa.
Ketiga faktor ini memberi arah dan perpaduan dalam merumuskan, mengendalikan,
menyelenggaraan, mengawasi serta menilai pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam usaha melakukan
kegiatan yang sesuai dengan tujuan pondok pesantren.
Manajemen
berarti upaya yang dilakukan untuk mencapa tujuan yang telah ditentukan.
Dalam rangka menciptakan manajemen yang baik dalam penyelengga raan pondok
pesantren, maka fungsi-fungsi yang perlu diperhatikan dalam penye lenggaraan
itu adalah : perencanaan, penempatan personil, financial (keuangan), supervisi
dan evaluasi.
1.
Administrasi
Pengertian
administrasi yang diterapkan dalam penyelenggaraan pondok pesantren adalah
pengertia administrasi dalam arti luas, yaitu keseluruhan kegiatan manusia yang
bekerja sama untuk mencapai tujuan pondok pesantren. Hal ini tidak mungkin atau
sulit dicapai jika hanya dilakukan le kyai saja.
Dalam
merencanakan dan mengelola administrasi ini haruslah diketahui dan dirumuskan
dengan jelas tujuan pondok pesantren. Karena berdasarkan pada tujuan itu, akan
diketahui kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan oleh pondok pesantren dan
sistem administrasi seperti apa yang mesti dterapkan. Karena
perbedaanpencapaian tujuan tertentu, maka kemungkinan akan ada perbedaan dalam
penerapan sistem administrasinya.
Selain
itu, dari pengertian di atas dapat dipahami tentang adanya usaha-usaha
tertentu yang diselenggarakan atau diupayakan dalam rangka mencapai tujuan
secara keseluruhan. Misalnya si fulan bergerak di bidang pengajaran dan
pendidikan si fulanlah di bidang tata usaha,
si dia membantu penyelenggaraan urusan
rumah tangga pondok pesantren dan sebaginya. Keseluruhan kegiatan ini dapat
diistilahkan dengan satu istilah administrasi.
2.
Organisasi
Salah
satu kelemahan yang terdapat pada pengelolaan pondok pesantren adalah masalah
organisasi. Dapat dikatakan bahwa meskipun organisasi bukan merupakan barang
ang baru dalam pengelolaansuatu lembaga, namun penerapan asa-asas organisasi
dalam kerjasamanya untuk mencapai tujuan masih kurang optimal. Oraganisasi pada
dasarnya merupakan wadah sekelompok manusia yang dipersatukan dalamsuatu
kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
setiap organisasi akan berkumpul tiga unsur pokok :
a.
adanya
sekelompok orang,
b.
kerjasama
yang dilakukan, dan
c.
pembagian
kerja dalam upaya mencapai tujuan atau maksud yang ingin dicapai.
Untuk menyusun suatu organisasi pondok
pesantren, pelaksanaan prioritas dilakukan pada :
- Penetapan tujuan pondok pesantren;
Maksud
tujuan ini pada makro pondok pesanren secara umum. Melainkan pada intern pondok
pesantren yang bersangkutan dalam penyelenggaraan kegiatannya. Misalnya, pondok
pesantren yang mencirikhaskan sebagai pondok pesantren yang melahirkankader
muballigh dan muballighah, kader yang memiliki keterampila dalam bidang agama,
hafidz dan hafidzah, dan banyak lagi macamnya.
- Penetapan kegiatan yang sesuai dengan tujuan pondok pesanren dan pengembangannya;
Artinya,
pelaksanaan kegiatan yang dikembangka dalam pondok pesanten itu harus sinkron
dan harmoni dengan tujuannya. Misalnya,dalam upaya menciptakan santri-santri
yang memahami agama secara integra dan komprehensif, maka pemeelaaran yang
diselenggarakan haruslah berupa pengajian kitab, tahfdzul al-Qur`an, dan
peamaan ilmu terkait lainnya yang menunjang juga pengembangan lainnya yang
bersifat ekstrakurkuler, keterampilan atau pemberdaaan ekonomi.
- Penetapan bidang-bidang dan pengurus, serta tenaga pelaksanaannya; pencerminan ini ditandai dengan penempatan orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu sesuai dengan didangnya, setelah lebih dahulu ditentukan bidang-bidang apa saja yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan pondok pesantren.
Pengorganisasian
memang dilakukan untuk memberikan kejelasan dalam upaya pelaksanaan misi dan
fungsinya dengan pelaksana yang tepat dalam bidang atau komponennya. Artinya,
meskipun sebagai lembaga pendidikan tradisional, pondok pesantren harus tetap
memiliki aturan main dalam upaya menjalankan tujuan pendidikan dan
keagamaannya, atau pondok pesantren memiliki perundangan atau peraturan yang
diberlakukan dalam upaya mengembangkan bidang-bidang yang tersebut di atas.
Penetapan
bidang dan pelaksanaannya menunjukkan bahwa segenap tugas pekerjaan untuk
mencapa tujuan organisasi pondok pesantren, hubungan antara fungsi-fungsi
pondok pesantren, dan wewenang, serta tanggung jawab dari tiap-tiap anggota dan
pelaksana organisasi pondok pesantren merupakan suatu kerangka besar yang
penting dalam suatu organisasi.
- Penuangan kegiatan, bidang dan kepengurusan ke dalam suatu skema kerja atau struktur organisasi sederhana yang mencerminkan keseluruhan kegiatan operasional pondok pesantren.
Tersedianya
skema kerja atau struktur organisasi pengurus pondok pesantren (organization chart) yang jelas dan
sederhana yang menggambarkan fleksibilitas penyeenggaraan pondok pesantren
meniscayaan diadakannya perubahan
(reorganization), atau
pengembangan-pengembangan yang dilakukan (development)
pondok pesantren. Karena, sesungguhnya, sebagai lembaga pendidikan, keagamaan
dan pengembangan masyarakat, tentunya keberadaan penyelenggaraan merupakan
bentuk kerjasama dari banyak orang.
- Pencatatan atau administrasi, baik itu berupa pendataan santri dan pengurus pondok pesantren, Jadual kegiatan dan pembelajaran, maupun pengelolaan surat. Administrasi di sini adalah dalam arti sempit, yaitu tata usaha. Bidang-bidang yang terkait dengan tata usaha diantaranya adalah pencatatan, pendataan, dan surat-menyurat.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam rangka mengorganisir kegiatan dalam pondok
pesantren di antaranya :
1)
Adanya
pembagian kerja dan wewenang dalam
kepengurusan; pekerjaan tertentu didelegasikan kepada orang yang memang
memiliki kapabilitas dalam melaksanakan kerja dan kewenangan tersebut. Kyai
cukup pada kegiatan perencanaan, motivasi, mengawasi dan menerima laporan
pelaksanaan. Sedangkan tugas-tugas teknis didelegasikan kepada para ustadz atau
pembantu kyai.
2)
Adanya
koordinasi kegiatan; maksud koordinasi dalam kegiatan adalah agar terjadi
saling pengertian, mengisi, membantu dan melengkapi, tidak ada tumpang tindih
dalam pelaksanaan kegiatan. Karena makin besar kegiatan, makin banyak pula orang yang akan terlibat.
Sehingga perlu adanya koordinasi yang mempertautkan satu dengan yang lain.
Biasanya, koordinator utama adalah kyai sendiri.
3)
Adanya
kesatuanperintah; dengan prinsip organisasi, akan tergambar alur perintah dan
pelaksana perintah, termasuk pula pertanggung jawabannya. Dalam istilah
teknisnya, ada batasan dan ada bawahan, pimpinan dan pelaksana.
4)
Adanya
kaderisasi dalam kepemimpinan dan kepengurusan pondok pesantren; dengan adanya
perjenjangan tugas pokok dan alur perintah, dapat dipahami bahwa mereka yang
menjadi pelaksana merupakan kader-kader bagi pimpinannya. Termasuk hal yang
patut dicatat adalah adanya orang
kedua setelah kyai, yang dipercaya oleh kyai. Orang ini sebaiknya merupakan orang kedua dalam segala
macam kegiatan yang dilaksanakan oleh pondok pesantren.
Karenanya,
setiap pondok pesantren sebaiknya memiliki struktur organisasi yang sederhana
dan jelas. Baik pondok pesantren itu mandiri atau bernaung di bawah sebuah yayasan. Karena akan
membantu pelaksanaan pengembangan kegiatan pondok pesantren.
Salah
satu kelemahan yang terdapat pada pengelolaan pondok pesantren adalah masalah
organisasi. Dapat dikatakan bahwa meskipun organisasi bukan merupakan barang
yang baru dalam pengelolaan suatu lembaga, namun penerapan asas-asas organisasi
dalam kerjasamanya untuk mencapai tujuan masih kurang optimal.
3.
Tenaga
kependidikan
Tenaga kependidikan pondok pesantren
terdiri dari kyai, guru/ustadz dalam berbagai funun baik itu pelajaran maupun
pengajian kitab, pengurus pondok pesantren, pimpinan unit-unit kegiatan dan
tenaga kesekretariatan pondok pesantren. Jumlah tenaga kependidikan tergantung
pada volume kegiatan yang telah diorganisir untuk mencapai tujuan, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
Setiap
unit atau bidang atau kegiatan sebaiknya sudah ada penanggung jawab
pelaksanaanya. Seperti penanggung jawab akademik dan administrasi.
b.
Kemampuan
tenaga pelaksana yang ada diharapkan berfungsi seoptimal mungkin. Bila perlu
ada peningkatan kemampuan dengan menyekolahkan tenaga pelaksana yang
bersangkutan untuk hal tersebut.
c.
Senantiasa
dilakukan kaderisasi untuk setiap bidang, termasuk untuk pimpinan pondok
pesantren.
d.
Selalu
diupayakan inovasi untuk pengembangan unit organisasi agar selalu sesuai dengan
perkembangan zaman. Termasuk dalam hal ini pengembangan unit usaha atau
keterampilan.
Banyak para santri senior yang sudah
lulus dari suatu pondok pesantren yang mengabdikan dirinya dengan membantu
pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren yang
bersangkutan. Ini merupakan salah satu contoh kaderisasi yang berjalan dengan
baik di pondok pesantren. Dari hasil pembinaan yang baik, maka pondok pesantren
diharapkan tidak lagi kekurangan tenaga kependidikan dalam pengelolaan pondok
pesantren.
Termasuk dalam pengorganisasiannya,
tenaga kependidikan yang ada juga memiliki spesialisasi dalam hal
pengajarannya. Dalam hal ini adalah berdasarkan kitab atau fannya. Seperti halnya guru bidang studi pada sekolah umum atau
madrasah. Meskipun demikian, karena satu atau lain hal, adakalanya seorang
ustadz memegang lebih dari satu kitab atau fan,
berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki.
4.
Pengelolaan
Keuangan
Sebagaimana
halnya lembaga atau perguruan lain, pengelolaan pondok pesantren tentunya
memerlukan pendanaan. Dan karena pondok pesantren merupakan amanat umat, maka
pengelolaan dan pembukuan keuangan pondok pesantren perlu diperhatikan dengan
serius. Bahkan, dalam pengorganisasiannya, tentu ada yang bertugas atau
bertanggung jawab mengenai keuangan itu. Bendahara pondok pesantren atau
yayasan misalnya.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan keuangan di antaranya adalah sebagai
berikut :
a.
Anggaran
pendapatan dan belanja pondok pesantren
Pengurus atau bendaharawan pondok pesantren menyusun anggaran pendapatan
dan belanja pondok pesantren yang dipergunakan oleh pondok pesantren untuk
memulai suatu masa pembelajaran.
Pendapatan pondok pesantren dapat diperoleh dari: iuran
santri,pendapatan donator, wakaf, sedekah dan zakat, bantuan Pemerintah atau
lembaga swasta lainnya yang tidak mengikat, dan usaha lain yang diupayakan baik itu
oleh kyai, para ustadznya, para santri, atau pondok pesantren secara
keseluruhan.
Sedangkan belanja pondok pesantren dapat berupa : gaji, upah, pembelian
bahan pembelajaran dan sarana pendidikan, perjalanan, biaya pemeliharaan,
administrasi dan pembangunan.
b.
Penerimaan
Keuangan
Untuk penerimaan dan penagiahan uang, hendaknya diserahkan kepada orang tertentu yang
memang bertugas dalam bidang keuangan. Bidang kegiatannya dapat berupa
pembayaran atas pembelian atau upah, penarikan uang bulanan (syahriyyah), atau pendaftaran santri
baru.
c.
Pembukuan
Keuangan
Maksud dari pembukuan ini adalah agar segala hal yang berkaitan dengan
keuangan pondok pesantren tercatat rapi dan dapat dipertanggung jawabkan.
Keluar msuknya keuangan pondok pesantren dibukukan dalam suatu buku kas yang
dipegang oleh orang
yang bertanggung jawab dalam bidang keuangan itu. Orang yang bertanggung jawab
itupun sebaiknya mengerti tentang tata cara atau administrasi keuangan pada
pokoknya.
5.
Supervisi
dan Evaluasi
Supervisi dan evaluasi merupakan salah
satu fungsi manajemen yang berkaitan erat dengan perencanaan masa yang akan
dating, sesuai dengan pencapaian yang diperoleh sebelumnya. Hal-hal yang
diasumsikan sebagai penghambat harus segera ditanggulangi, diminimalisir, atau
dihilangkan. Sedangkan hal-hal yang progressive
untuk pengembangan pondok pesantren dipertahankan dan bahkan ditingkatkan lagi.
Sistem manajemen dan pengelolaan ini
merupakan suatu contoh penerapan yang sederhana dan fleksibel dari sebuah
pondok pesantren. Karena yang tetap harus diperhatikan adalah kondisi dan
kemampuan pondok pesantren itu sendiri dalam upaya mengembangkan pondok
pesantren, sehingga sistem manajemen dan pengelolaannya sesuai dengan
karkateristik pondok pesantren yang bersangkutan.
BAB V
PENUTUP
Secara sederhana, tulisan
ini berupaya untuk memposisikan Pondok Pesantren sesuai dengan potensi yang
dimiliki dan misi yang diembannya dalam rangka
memperdalam ajaran dan pengetahuan Agama Islam, meninggikan akhlaq,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan dan memberdayakan
potensi masyarakat.
Peranan yang dilakukan
oleh Pondok pesantren tersebut, sebenarnya merupakan hasil dan kreasi pesantren
dalam mentransformasikan dirinya terhadap tantangan, permasalahan serta situasi
dan kondisi yang dihadapi Pondok Pesantren dalam menyelenggarakan kegiatannya.
Tulisan ini hanya
mengangkat sedikit dari sisi keseharian dan kebersahajaan Pondok Pesantren;
yang tetap dan selalu menjaga eksistensinya dari zaman ke zaman, dengan tetap
mengapresiasi Motto dan landasan kaidah :
“al-muhafadzah
‘alaa al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”
Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat untuk pembinaan, penyelenggaraan dan pengembangan Pondok Pesantren
selanjutnya; sebagai model pembelajaran yang multi-dimensional dan dapat
memberi inspirasi bagi model pembelajaran lain serta diharapkan dapat memberi
kontribusi bagi Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar